Saturday, July 28, 2018

Godaan Iblis

Allah mengabarkan bagaimana sumpah Iblis untuk mengganggu kita:

ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Kemudian aku (Iblis) akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS. Al-A’raf : 17)

Menurut penjelasan Ali ibnu Abi Talhah dari Ibnu Abbas, maksud menggoda dari arah depan adalah bahwa Iblis akan membuat manusia ragu dalam urusan akhirat, dari belakang maksudnya Iblis akan membuat manusia begitu mencintai dunia, dari kanan maksudnya dia akan mengaburkan manusia terhadap urusan agama mereka, sementara dari kiri yakni akan membuat manusia tergiur kepada kemaksiatan.


Pendek kata, menurut Ibnu Jarir, Iblis akan menggoda dari setiap jalan, jika itu jalan kebaikan, maka setan akan menghalang-halanginya, jika itu jalan kejahatan, maka Iblis selalu menghiasinya di mata mereka.[1] Nabi r bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَعَدَ لِابْنِ آدَمَ بِأَطْرُقِهِ

Sesungguhnya setan menghadang anak Adam dengan segala cara” (HR. Ahmad)
Iblis tidak pernah putus asa dalam menggoda manusia, jika tidak berhasil diajak kafir, maka akan diajak untuk melakukan maksiat dari dosa-dosa besar sampai dosa-dosa kecil. Jika tidak berhasil maka dia akan membiarkan manusia melakukan berbagai kebaikan, namun di sisi lain dia memasukkan kebanggaan diri (‘ujub), pamer (riya’ dan sum’ah) sehingga kebaikan yang dilakukan akan sirna nilainya dihadapan Allah Ta’ala.

Bahkan tidak cukup di situ, Iblis juga berusaha menipu manusia dengan berbagai kebaikan dan amalan, namun membuat mereka melalaikan amalan yang lebih besar; menyibukkan manusia dengan mengejar fadhîlah (keutamaan), namun membuat mereka lupa terhadap farîdhah (kewajiban), atau menyibukkan mereka dengan suatu ‘kewajiban’ namun melalaikan mereka dari kewajiban lain.
Al Hasan bin Shalih rahimahullah berkata:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَفْتَحُ لِلْعَبْدِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ بَابُا مِنَ الْخَيْرِ يُرِيْدُ بِهِ بَابًا مِنَ الشَّرِّ

“Sesungguhnya setan bisa membukakan 99 pintu kebajikan untuk menuju 1 pintu keburukan yang dia inginkan (al Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis, hal 63).

Berapa banyak orang yang sibuk menikmati munajat kepada Allah, namun dibuat lupa dengan kewajiban-kewajibannya? Lupa tanggung jawab sebagai orang tua, hingga tidak perhatian lagi anaknya bergaul dengan siapa, lupa tanggung jawab sebagai warga negara hingga tidak peduli lagi negara ini berjalan di atas sistem ilahiyyah ataukah sistem syaithaniyyah, atau lupa tanggung jawab sebagai muslim terhadap saudaranya muslim yang lainnya.

Hanya hamba-hamba Allah yang mukhlis saja lah yang atas idzin Allah akan terhindar dari godaan dan tipu daya Iblis dan bala tentaranya,[2] sebagaimana sahabat ‘Abbad bin Bisyr ketika sedang menikmati shalat malamnya dan ketika itu terkena dua panah, setelah sholat, ketika ditanya kenapa tidak berhenti sholat saat terkena anak panah pertama, beliau menjawab:

كنت أتلو في صلاتي آيات من القرآن ملأت نفسي رَوْعَة، فلم أحب أن أقطعَها. ووالله، لولا أن أضيع ثغرا أمرني الرسول بحفظه، لآثرت الموت على أن أقطع تلك الآيات التي كنت أتلوها

“Aku sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an yang sangat menggetarkan hati dalam shalatku, hingga aku tak ingin memutusnya. Demi Allah, jikalau tidak karena akan mengabaikan pos penjagaan yang aku diperintahkan Rasulullah untuk menjaganya, aku akan lebih memilih mati daripada memutuskan bacaan ayat-ayat yang sedang kubaca dalam sholat tadi” (Rijâlu Hawla ar Rasûl, hal 426 – 427. Maktabah Syamilah)

Beginilah sikap sahabat yang mulia ini, kenikmatan ibadahnya tidak melalaikan dirinya dari tanggung jawab untuk menjaga umat Islam, apalagi hanya sekedar kenikmatan dunia?
Bandingkan dengan diri kita, apakah ‘kealpaan’ yang sering kita lakukan dikarenakan kita sibuk menikmati munajat seorang diri ataukah justru karena kita sibuk mengejar kenikmatan duniawi? Padahal posisi kita hampir sama dengan posisi Abbad; menjaga pos penjagaan, sebagaimana kata Imam al Awza’i (w. 157 H):

مَا مِنْ مُسْلِمٍ إِلَّا وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى ثَغْرَةٍ مِنْ ثُغَرِ الْإِسْلَامِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَلَّا يُؤْتَى الْإِسْلَامُ مِنْ ثَغْرَتِهِ فَلْيَفْعَلْ

“Tidak ada seorang muslimpun kecuali dia berada di satu pos penjagaan di antara pos-pos penjagaan[3] Islam. Siapa saja yang mampu, jangan sampai Islam diserang dari pos yang dijaganya” (Al Marwazi (w. 294 H), As Sunnah, hal 13. Maktabah Syamilah). [MTaufikNT]

https://mtaufiknt.wordpress.com/2018/05/24/godaan-iblis/

Friday, July 27, 2018

Al Qur’an dan mukjizatannya

Oleh: K.H . Shiddiq Al Jawi
[Terjemahan dari Kitab Thariqul Iman, Dr. Samih Athif az Zain]

 

Salah satu tanda yang menunjukkan bahwa Al Qur’an merupakan wahyu adalah pemilihan nama yang berbeda-beda oleh Rab al ‘alamin. Orang Arab menyebutnya dengan “sesuatu yang global (jumlah) dan detail (tafsil).” Di antara nama-nama yang mengagumkan, yang di dalamnya terdapat rahasia penamaan (asrar al tasmiyah) dan terdapat rahasia sumber isytiqaq (derivat kata), yaitu: Al Kitab dan Al Qur’an.

Arti penamaan Al Kitab menunjukkan bahwa kalamullah dikumpulkan dalam bentuk tulisan (al suthur). Karena, tulisan (al kitabah) adalah kumpulan-kumpulan huruf, gambaran (al rasmu) lafadz dan susunan kalam[1]. Adapun penamaan Al Qur’an menunjukkan bahwa kalamullah tersimpan di dada. Karena, Al Qur’an adalah sumber bacaan. Dan, dalam membaca terdapat manfaat dan pengingatan (istidzkar).
Yang biasa digunakan dari dua penamaan tersebut, adalah lafadz Al Qur’an dengan bentuk masdar[2], sehingga Al Qur’an menjadi isim ‘alam[3] khusus untuk kitab yang mulia ini. Nama ini tidak pernah dikenal pada kitab-kitab lain, baik kitab samawi[4] maupun kitab ardli[5].
Salah satu keistimewaan Al Qur’an Al karim adalah kemampuannya untuk melemahkan (al i’jaz). Realitas dan eksistensinya berbeda dengan yang lain, baik dari sisi bahasa, makna dan kesan yang timbul dalam jiwa. Dengan perbedaan-perbedaan ini tampak sekali i’jaznya. Realitas terindra, misalnya, sebagian manusia mati dan sebagian yang lain hidup. Jika yang mati dicampur dengan yang hidup, maka akan menimbulkan efek yang nyata pada manusia, dilihat dari sisi perjalanan hidup mereka pada seluruh aspek. Contoh yang lain adalah pohon, jika ada cabangnya yang kering, akan tumbuh cabang lain. Jika cabang yang kering bercampur dengan batang yang segar akan memberikan dampak pada pohon. Demikian pula bahasa, setelah berjalannya waktu, silih bergantinya kejadian-kejadian, dan adanya ciptaan dan temuan-temuan baru, menyebabkan situasi dan kondisi berubah. Dan, hal ini menuntut adanya penggunaan lafadzlafadz baru (vocabulary: lafadz), setelah pembatalah lafadzlafadz lama untuk menunjukkan nama dan makna tertentu. Pemberlakuan lafadzlafadz baru ada kalanya karena perubahan nama sesuatu atau adanya perubahan makna secara total atau karena hilangnya keberadaan sesuatu, baik karena tidak digunakan lagi atau karena tidak dibutuhkan lagi. Dengan demikian, lafadzlafadz yang sudah tidak digunakan lagi atau digunakan tetapi sangat jarang adalah sama dengan lafadzlafadz mati atau menuju kematian. Sedangkan, lafadzlafadz yang memang keliru, maka lafadz-lafadz tersebut sudah mati sejak lahirnya. Dengan keadaan ini menjadikan lafadzlafadz akhirnya tersembunyi, dan tersingkir seiring dengan berjalannya kehidupan, lalu akhirnya berlahan-lahan menjadi baru lagi. Realitas Al Qur’an berbeda dengan realitas perkataan manusia, karena lafadz-lafadz al Qur’an menunjukkan makna-makna yang memiliki fakta yang unik dan Al Qur’an Al Karim tertulis dengan abadi. Tidak ada seorang pun yang mampu untuk mengambil satu lafadz dan menganggapnya sebagai bahasa yang mati. Tidak ada satu lafadz pun yang ada dalam Al Qur’an yang ketinggalan jaman, kuno dan tidak terpakai. Ketika Al Qur’an menunjukkan sesuatu, maka yang ditunjukkan adalah segala sesuatu. Penunjukkannya di sini adalah pasti, yaitu bahwa manusia dan jin (al ‘alamin) tidak akan mampu membuat yang semisal dengan Al Qur’an, meskipun mereka bekerja sama.
Contoh keabadian hidup lafadzlafadz Al Qur’an, yaitu saling berhubungannya (al tamasuk) antara kesan lafadz pada diri dengan maknanya secara erat. Hubungan ini dapat ditemukan dalam satu lafadz, misalnya: (dlizaa=kezaliman) pada ayat 22 surat An Najm,
“yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil (dlizaa).” (QS. An-Najm [53]:22)
Lafadz tersebut sekarang jarang digunakan untuk menunjukkan makna kezaliman. Yang sekarang terkenal dan terpakai adalah lafadz al jairoh dan al dhalimah. Akan tetapi, jika dua lafadz tersebut diletakkan pada tempatnya lafadz dlizaa —meskipun artinya sama— dalam surat tersebut jelas tidak mungkin, karena susunan balaghahnya dan kesan dalam jiwa akan sangat menggelikan. Padahal, susunan balaghah dan kesan pada jiwa itulah yang menjadikan Al Qur’an al karim sangat unik (tidak ada yang menandingi). Tidak mungkin terdapat keunikan kesuali pada Al Qur’an.
Al Qur’an al karim bukan dari sisi manusia, maka Al Qur’an berasal dari Allah SWT:
“Kalau kiranya Al Qur’an bukan berasal dari sisi Allah, tentu mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’ [4]:82)
Pertentangan tidak akan terjadi di dalam al Qur’an, semenjak diturunkannya hingga saat ini, dan sampai datangnya hari kiamat nanti, yakni hari dimana Allah SWT mewarisi bumi dan orang-orang di atasnya.
Dalil bahwa Al Qur’an dari sisi Allah SWT adalah dalil Aqli. Al Qur’an merupakan fakta terindra yang ada di tangan kita, bukan termasuk sesuatu yang ghaib. Jadi, tidak ada perdebatan tentang fakta dan keberadaannya.
Al Qur’an merupakan bahasa (al kalam) Arab, baik dalam lafadzlafadznya ataupun susunan kalimatnya. Orang Arab juga berbicara dengan bahasa Arab. Terdapat syair dengan berbagai jenisnya, dan terdapat pula prosa (al natsar) dengan berbagai jenisnya. Dan, perkataan mereka juga ditulis dalam buku-buku dan dipindah (nuqil) dari satu orang ke orang lain. Orang-orang akhir (khalaf) menukil dari orang-orang terdahulu (salaf), dan sebagian lagi meriwayatkan dari yang lain.
Dengan menganalogkan dan membandingkan perkataan orang arab dan bahasa Al Qur’an akan didapatkan beberapa kemungkinan. Jika mode (al thiraz) bahasa Al Qur’an adalah mode bahasa Arab, maka dapat dikatakan bahwa Al Qur’an diucapkan oleh orang Arab sangat fasih (al baligh); dan jika mode bahasa Al Qur’an bukan mode bahasa Arab, maka dapat dikatakan bahwa Al Qur’an diucapkan oleh orang non Arab (al ‘ajam). Kemungkinan yang pertama, adakalanya orang Arab mampu membuat yang semisal dengan Al Qur’an dan adakalanya tidak mampu. Jika orang-orang Arab mampu membuat yang sama, maka Al Qur’an adalah perkataan manusia. Akan tetapi, jika mereka tidak mampu membuat yang serupa, padahal Al Qur’an adalah bahasa Arab dan mereka adalah orang Arab, maka Al Qur’an bukan perkataan (buatan) manusia.
Orang yang memperhatikan Al Qur’an dan bahasa Arab, jika memiliki kemampuan untuk memahami dan melihat dengan detail (tadqiq) akan menemukan bahwa Al Qur’an memiliki mode yang khas. Yaitu suatu mode yang tidak pernah ada sebelumnya. Tidak ada perkataan yang diucapkan dengan jalan (an Namth) seperti ini, baik sebelum atau sesudah turunnya Al Qur’an. Jika orang Arab tidak mampu berkata seperti perkataan (kalam) Al Qur’an, maka Al Qur’an adalah perkataan selain manusia. Telah ditetapkan dengan jalan mutawatir, yang qath’i dan meyakinkan, bahwa orang-orang Arab tidak mampu membuat yang serupa dengan Al Qur’an, meskipun mereka telah mencoba berulang-ulang, mengadakan banyak percobaan dan penelitian, dan menyelenggarakan seminar-seminar dan pertemuan-pertemuan dengan menghadirkan ahli balaqhah, ahli syair (an nadzmu) dan ahli prosa (an natsru). Mereka semua tidak mampu, padahal Al Qur’an menentangnya dengan firman-Nya:
“Dan, jika kamu [tetap] dalam keraguan tentang Al Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu sarat [saja] yang semisal Al Qur’an dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah [2]:23)
Dan, firman-Nya:
“Atau [patutkah] mereka mengatakan: ‘Muhammad membuat-buatnya’, katakanlah: ‘kalau benar yang kamu katakan itu, maka cobalah datangkan sebuah surat semisalnya dan panggilah [untuk membuatnya] selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Yunus [10]:38)
Juga, firman-Nya:
“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Qur’an”, Katakanlah: “[kalau demikian], maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup [memanggilnya] selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (QS. Huud [11]:13)
Tantangan telah “diteriakkan” oleh Allah SWT, dan manusia tidak berdaya di hadapan tantangan ini. Mereka tidak mampu membuat yang serupa. Jadi, Al Qur’an bukan perkataan orang Arab, karena mereka tidak mampu membuat yang serupa dengan Al Qur’an. Lantas, dari mana datangnya Al Qur’an? Al Qur’an dari sisi Allah SWT. Dalil aqli telah menetapkan secara pasti yang demikian itu.
Al Qur’an adalah kalamullah. Mustahil ada orang nonArab mampu membuat yang serupa dengan Al Qur’an, karena Al Qur’an berbahasa Arab. Orang Arab yang bisa berbahasa Arab saja tidak mampu membuat, apalagi orang nonArab yang tidak bisa berbahasa arab. Juga, tidak dapat dikatakan bahwa Al Qur’an merupakan perkataan Muhammad SAW, karena Muhammad SAW juga kebangsaan Arab (al Araby) dan berasal dari Arab. Telah ditetapkan bahwa “jenis” Arab tidak mampu, maka beliau juga tidak mampu, karena beliau adalah individu dari “jenis” yang sama. Ditambah lagi, suatu ungkapan (al ta’bir), baik dari sisi lafadz-lafadz maupun susunannya, pada setiap orang, biasanya menurut apa yang dikenal pada masanya atau diriwayatkan dari orang-orang sebelumnya. Ketika ada ungkapan baru, berarti ada makna atau khayalan baru. Akan tetapi, tetap menggunakan lafadz-lafadz dan ungkapan-ungkapan yang dikenal atau diriwayatkan, [yakni] dengan apa yang terjangkau oleh indra manusia. Adalah mustahil seseorang berkata atau mengungkapkan sesuatu yang tidak didahului dengan pengindraan realita. Orang yang memperhatikan mode Al Qur’an, akan mendapati bahwa pengungkapan Al Qur’an, baik dari sisi lafadz ataupun susunan-susunan kalimat (al jumal), tidak dikenal pada masa Rasul Muhammad SAW, juga tidak dikenal pada masa sebelumnya. Mustahil secara akliyah bagi beliau seperti halnya manusia yang lain, meskipun seorang Nabi dan Rasul, untuk mengatakan sesuatu yang tidak didahului pengindraan. Oleh karena itu, mustahil bahwa mode pengungkapan Al Qur’an, baih dari sisi lafadz atau susunan-susunan kalimat, berasal dari Muhammad SAW. Jadi, Al Qur’an adalah Kalamullah. Allah SWT telah menurunkan kepada Muhammad SAW dari sisi-Nya. Yang demikian itu, telah ditetapkan dengan dalil akliyah.
Turunnya Al Qur’an ditetapkan dengan bukti yang sama. Selama manusia tidak mampu untuk membuat yang serupa dengan Al Qur’an, maka selama itu i’jaznya ditetapkan dengan indra dan fakta. faktanya Al Qur’an ada, dan selalu menantang manusia dan jin untuk membuat yang serupa, tetapi manusia dan jin tidak sanggup melakukannya. Jadi, kemukjizatan Al Qur’an tetap untuk selamanya.
Jadi, kemungkinan Al Qur’an hanya ada tiga, yaitu dari orang Arab, dari Muhammad atau dari Allah, dan tidak mungkin berasal selain dari tiga tersebut. Jika Al Qur’an berasal dari orang Arab, kekeliruannya (al bathil) sangat jelas, dan hal itu telah ditetapkan dengan dalil akliyah. Sekarang tinggal dua kemungkinan, yaitu dari Muhammad SAW atau dari Allah SWT. Muhammad SAW adalah orang Arab dan ia tidak mungkin mampu keluar dari masanya secara menyeluruh, meskipun sangat jenius. Jika orang Arab tidak mampu, maka Muhammad SAW juga tidak mampu, karena beliau adalah salah satu dari mereka. Diriwayatkan dari beliau SAW dengan jalan mutawatir dalam sabdanya:
“Barang siapa berbohong atasku (atas namaku) secara sengaja, hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.”
Jika dibandingkan antara perkataan Muhammad SAW dengan Al Qur’an, maka tidak tampak ada kemiripan sedikit pun, padahal perkataan Muhammad SAW adalah kalam yang paling unggul (al jawami’). Hal ini menunjukkan, bahwa Al Qur’an bukan kalam Muhammad SAW.
Ditambah lagi, seluruh ahli syair, para penulis, para filsuf, dan para pemikir dunia, pasti memiliki jalan, manhaj dan cara (uslub) tertentu di dalam pemikiran dan pengungkapannya. Biasanya, pada awalnya, mereka memulai dengan lemah kemudian meningkat sedikit demi sedikit menuju puncak kemampuan yang dicapainya. Jadi, hasil yang dicapai oleh mereka tidak langsung tiba-tiba, tetapi pasti di dalamnya ada lemah dan kuat, dan pasti didalam perjalannya ada pemikiran dan pengungkapan yang lemah. Kita menjumpai Al Qur’an pada awal turunnya adalah ayat:
“Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq [96]:1)
Dan, ayat yang terakhir turun adalah:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan daripadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maa-idah [5]:3)
Dua ayat di atas berada pada puncak balaghah dan kefasihan, ketinggian pemikiran serta kekuatan ungkapan, sehingga kita tidak menemukan di dalmnya ada satu ungkapan yang lebih lemah dan yang satu lagi lebih tinggi. Ungkapannya adalah satu bagian (al qit’ah). Seluruh uslubnya, baik global atau rinci, seperti satu jumlah. Apakah setelah semua itu terdapat dalil lagi yang lebih besar dan lebih jauh, bahwa Al Qur’an berada di atas perkataan manusia yang hanya mengantarkan kepada perbedaan ungkapan, bangunannya (al mabni) dan maknanya? Selama tidak ada dalil lagi maka Al Qur’an adalah Kalamnya Rab al basar dan Rab al ‘alamin. Al Qur’an menbangun seruannya (al da’wah) di atas asas fitrah, kemudian berbicara kepada manusia sesuai dengan pemikiran (kecerdasan) manusia. Sebab, manusia ada yang berilmu (al ‘alim) dan ada yang bodoh (al jahil), ada yang cerdas dan ada yang tidak. Semuanya diseru untuk beriman kepada Allah SWT secara akliyah dan dengan metode Al Qur’an. Oleh karena itu, seruan Al Qur’an kepada semua manusia sesuai dengan pemahaman dan kecerdasan manusia.
Ketika ayat-ayat Al Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW dan beliau menyampaikannya kepada manusia, maka orang-orang Islam beriman dengannya dan menghafalkan di dadanya. Tidak ada satu pun di antara mereka, juga orang-orang musyrik, melihat adanya pertentangan yang membutuhkan kajian secara mendetail (al tadqiq). Mereka memahami seluruh ayat Al Qur’an sebagaimana adanya, sifat dan ketetapannya. Adapun orang-orang mukmin, kondisi dan jiwa mereka sangat selaras dengan ayat-ayat Al Qur’an. Mereka mengimani, membenarkan dan memahaminya dengan pemahaman yang baik. Mereka mencukupkan dengan pemahaman ini, mengangapnya sebagai sifat fakta dan ketetapan hakikat.
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui [yang kamu lahirkan dan rahasiakan]. Dan, Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk [67]:14)
Adapun orang-orang musyrik memahami ayat-ayat dan menerima keselarasan dengan realitas beserta apa yang disifati dan ditetapkan, tetapi jiwa mereka membangkang dan menentang iman. Hal itu, dikarenakan suatu sebab dan tujuan yang berbeda-beda. Sehingga, diantara mereka ada yang mati dalam keadaan kufur dan syirik; dan ada yang mendapat izin Allah SWT dengan pertolongan Islam dan masuk ke pangkuan-Nya.
Al i’jaz adalah lemahnya kemampuan manusia dalam upaya menghadapi mukjizat, dan kelemahan ini berlangsung secara terus menerus sepanjang zaman. Dikarenakan kelemahan tersebut, seolah-olah seluruh alam ini adalah satu orang. Tidak ada manusia yang tidak terbatas, ia hanya dapat menjangkau apa yang dapat dijangkau.
Tulisan ilmuwan tidak dapat menyamai Al Qur’an dalam ketinggian kehormatan dan kedudukan, kedalaman pandangannya, kesempurnaan susunannya, kekuatan hujjahnya, keluasan ungkapan dan kekokohan rangkaiannya.
Seakan-akan Al Qur’an adalah satu bagian (al qit’ah), berbeda dengan perkataan-perkataan (tulisan) seseorang yang paling fasih (balig) sekalipun. Ungkapan seseorang pasti mengandung perbedaan dan pertentangan dalam tata cara menghadirkannya. Kadang-kadang tinggi di satu tempat, tetapi rendah di tempat lain. Di dalamnya, juga terdapat kelemahan tabiat dan tipuan-tipuan jiwa. Dan, kadang-kadang pada satu sisi membosankan, sementara pada sisi yang lain menyenangkan.
Al Qur’an telah menantang para pakar dengan ungkapan yang mendobrak dan menciutkan nyali; dengan dialek yang kuat dan tinggi agar mereka mendatangkan yang semisal dengan Al Qur’an atau bahkan hanya satu surat dari Al Qur’an, tetapi mereka tidak mampu menghadapi tantangan itu. Sebenarnya, mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini jika mereka mampu, karena mereka sangat berambisi untuk mendustakan dan menentangnya dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya dan dengan berbagai celah yang ada. Kelemahan mereka yang rendah ini dihadapankan tantangan yang lantang adalah karena kemampuan [Al Qur’an] yang tinggi. Kebisuan mereka yang hina setelah mereka dikejutkan dengan tantangan, adalah karena pengaruh kalam yang mulia ini.
Al Qur’an adalah lafadz yang diturunkan kepada Sayyidina Muhammad SAW dengan makna-makna yang ditunjukinya. Makna saja tidak dinamakan Al Qur’an. Lafadz tanpa makna adalah kemustahilan, karena pada asalnya lafadz dibuat adalah untuk menunjukkan makna tertentu. Karena itu, Allah SWT mensifati Al Qur’an pada lafadznya. Tentang hal itu, Allah berfirman “innahu ‘arabiyyun” pada firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan bahasa Arab.” (QS. Yusuf [12]:2)
Juga, firman-Nya:
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab.” (QS Fushshilat [41]:3)
Arabiyah adalah sifat terhadap lafadz Al Qur’an bukan maknanya, karena makna Al Qur’an adalah makna-makna kemanusiaan (al ma’aani al insaniyah). Al Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia, bukan hanya orang Arab saja.
Tidak boleh dikatakan, ada sebagian makna Al Qur’an yang ditulis dengan bahasa selain bahasa Arab. Bahasa Arab di dalam Al Qur’an adalah suatu kepastian. Dan, Al Qur’an itu hanya bahasa Arab lafadznya saja. Al Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw, yang bukan hanya ditunjukkan pada orang-orang Arab yang hidup pada zaman rasul saja, atau hanya orang-orang Arab secara umum. Akan tetapi, Al Qur’an adalah mukjizat bagi seluruh manusia, dan tidak ada perbedaan suku yang satu dengan yang lain. Sebab, seruan (al khitab) Al Qur’an ditunjukkan kepada seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman:
“Dan, Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia.” (QS. Saba’ [34]:28)
Dan, firman-Nya:
“Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semuanya.” (QS. Al-A’raaf [7]:158)
Ayat-ayat yang menantang manusia adalah umum. Allah SWT berfirman:
“Dan, panggilah siapa saja yang dapat kalian panggil [untuk membuat Al Qur’an] selain Allah.” (QS. Yunus [10]:38)
Ayat-ayat di atas mencakup seluruh manusia, karena Al Qur’an menginformasikan ketidakmampuan membuat yang serupa kepada jin dan manusia seluruhnya. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al Qur’an, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya.” (QS. Al-Israa’ [17]:88)
Orang Arab dan seluruh manusia tidak mampu membuat yang serupa dengan Al Qur’an.
Ketika orang Arab mendengar Al Qur’an, maka mereka langsung menghampirinya yang seakan tersihir oleh balaghahnya. Walid Ibn Al Mughirah berkata, setelah mendengar Nabi saw membaca Al Qur’an, ”Demi Allah, tiada satu pun di antara kalian yang paling mengetahui tentang syair daripada aku, baik rajaz maupun qasidahnya. Demi Allah, apa yang dikatakan Muhammad tidak menyerupai syair sedikitpun. Demi Allah, apa yang dikatakan Muhammad enak didengar dan indah menawan, berdaun di bagian atasnya dan subur di bagian bawahnya. Sesungguhnya yang dikatakan Muhammad adalah sangat tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” Padahal Al Walid bukan orang yang beriman kepada Allah SWT dan Muhammad saw. I’jaz tersebut semata-mata datang dari Al Qur’an, orang yang mendengarnya atau akan mendengarnya hingga hari kiamat, akan merasakan ketakjuban yang tiada tara dan akan dibuat tercengang karena kekuatan kesan dan balaghahnya, meskipun hanya sekedar mendengarkannya.
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar [39]:67)
“Dan, jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari satu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” (QS. Al-Anfal [8]:58)
“Hai manusia, bertakwalah kepada tuhan kalian, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat), [ingatlah] pada hari [ketika] kalian melihat kegoncangannya, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah semua kandungan wanita yang hamil, dan kalian lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat keras.” (QS. Al-Hajj [22]:1-2)
Demikianlah, ayat-ayat Al Qur’an dibaca dengan lafadz-lafadz, uslub-uslub, dan tujuan-tujuannya telah menenggelamkan dan menguasai perasaan manusia. I’jaznya Al Qur’an paling tampak terutama pada kefasihan, balaghah dan ketinggian derajatnya, sampai pada derajat yang mengagumkan. Uslub Al Qur’an yang melemahkan (al mu’jiz) tampak pada kejelasan, kekuatan dan keindahan yang mustahil dapat dicapai oleh manusia. Al Qur’an memiliki mode dan untaian yang sangat unik dan sangat jelas. Pada ayat:
“Dan, Allah akan menghinakan mereka dan menolong kalian terhadap mereka, serta menegakkan hati orang-orang yang beriman.” (QS. At-taubah [9]:14)
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan [yang sempurna], sehingga kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali ‘Imran [3]:92)
Jika dua ayat di atas dinadhamkan, maka akan menjadi dua bait syair. Akan tetapi, dua ayat tadi bukan syair, tapi jenis prosa (al nasar) yang unik (al farid). Pada waktu lain, Al Qur’an merupakan natsar, dan kita dapati dalam ayat:
“Demi langit dan yang datang pada malam hari. Tahukah kamu apa yang datang pada malam hari itu? [yaitu] bintang yang cahayanya menembus. Tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang taroib (dada).” (QS. Ath-Thaariq [86]:1-7)
Ayat di atas adalah natsar yang jauh sekali dari syair.
“Dan, kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya (berhakim selain kepada Nabi Muhammad SAW) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’ [4]:64)
Allah SWT memanjangkan paragraf (al faqrah) dan nafas pada natsar di atas. Kemudian, kita mendapati dalam firman Allah SWT:
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya.” (QS. Asy-Syams [91]:1–4)
Allah SWT memendekkan paragraf dan nafas pada natsar tersebut. Kedua ayat di atas merupakan natsar (yang terbentuk) dalam paragraf-paragraf. Sementara, pada keadaan yang lain ditemukan dalam bentuk natsar mursal, dalam firman-Nya:
“Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera [memperlihatkan] kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman; dan juga di antara orang-orang yahudi. [Orang-orang yahudi itu] bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan [Taurat] dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: “jika diberikan ini [yang sudah dirubah-rubah oleh mereka] kepadamu, maka terimalah dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.” Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-sekali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun [yang datang] dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka memperoleh kehinaan di dunia dan di akhirat, dan memperoleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maa-idah [5]:41)
Pada keadaan yang lain ditemukan dalam natsar musajja’, [yaitu] dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berikan peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah dan janganlah kamu memberi [dengan maksud memperoleh balasan] yang lebih banyak. Dan, untuk [memenuhi perintah] Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al-Muddatstsir [74]:1–7)
Yang sama dengan wazannya (keserupaan dalam sajak) dengan firman Allah SWT:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur…” (QS. Al-Takaatsur [102]:1–2)
Allah SWT berfirman:
“Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes nutfah (mani), Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Kemudian bila Dia menghendaki Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.” (QS. ‘Abasa [80]:17–23)
Allah SWT telah memanjangkannya ketika memikat (manusia) dengan sajak-sajak tertentu. Allah SWT telah berpindah dari sajak tadi ke sajak (al saj’ah) lain, misalnya:
“Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu [datangnya hari yang sulit], bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (QS. Al-Muddatstsir [74]:8–10)
Kemudian, Allah SWT berpindah kepada ayat sesudahnya secara langsung dan berfirman:
“Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. Dan, Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anak-anak selalu bersama dia, dan Kulapangkan baginya [rezki dan kekuasaan] dengan selapang-lapangnya, kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya. Sekali-kali tidak [akan Aku tambah], karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat kami. Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan.” (QS. Al-Muddatstsir [74]:11–17)
Dan, setelah itu Allah SWT berpindah ke lainnya secara langsung. Dia berfirman:
“Sesungguhnya, dia telah memikirkan dan menetapkan [apa yang ditetapkan], maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan?” (QS. Al-Muddatstsir [74]:18–20)
Demikianlah, jika kita mengikuti seluruh Al Qur’an akan mendapati bahwa Al Qur’an mengikuti uslub-uslub tertentu dalam bahasa Arab yang berbeda dengan syair dan natsar; tetapi tidak menyerupai perkataan orang-orang Arab dan perkataan-perkataan seluruh manusia. Kita akan menemukan uslub yang jelas, kuat dan indah yang mengantarkan pada makna-makna dengan tata cara (al kaifiyah) pengungkapan tertentu dan menggambarkannya dengan penggambaran yang teramat rinci. Ketika kita mendapati makna yang sangat halus, semisal ayat:
“Sesungguhnya, orang-orang yang bertaqwa mendapatkan kemenangan, yaitu kebun-kebun dan buah anggur dan gadis-gadis remaja yang sebaya dan gelas yang penuh [berisi minuman].” (QS. An-Naba’ [78]:31–34)
Ayat tersebut datang dengan lafadz-lafadz yang halus, cantik dan lembut. Dan, ketika makna [yang disampaikan] tentang sesuatu yang keras (siksa, misalnya), semisal ayat:
“Sesungguhnya, neraka jahanam [padanya] ada tempat-tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya, mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak [pula mendapat minuman] selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal.” (QS. An-Naba’ [78]:21–26)
Ayat tersebut datang dengan lafadz-lafadz yang berat dan rangkaian kata yang keras. Ketika makna yang dimaksud untuk mengingkari sesuatu, maka ayat ini datang dengan lafadz yang diingkari oleh makna ini. Allah SWT berfirman:
“Apakah [patut] untuk kamu [anak] laki-laki dan untuk Allah [anak] perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (QS. An-Najm [53]:21–22)
Dan, firman-Nya:
“Dan, lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman [31]:19)
Penghadiran makna selalu dibarengi dengan tata cara pengungkapan yang menggambarka makna tersebut, dengan menjaga lafadz-lafadz yang memiliki bunyi yang menggetarkan perasaan. Oleh karena itu, orang yang mendengarkan Al Qur’an dan memahaminya, akan tertunduk (al khusu’) karena kedalaman makna dan ungkapan-ungkapan yang sangat fasih (baligh). Sehingga, seakan-akan sebagian pemikir Arab yang pakar balaghah bersujud [ketika mendengarnya], meskipun mereka kufur dan menentang ajarannya.
Orang yang menelaah secara rinci terhadap lafadz Al Qur’an Al Karim dan rangkaian-rangkaian kata-katanya akan menemukan, bahwa ketika Allah meletakkan huruf-huruf, [Allah] mengatur suara yang timbul ketika keluar dari tempat keluarnya huruf-huruf tersebut (mahraj). Huruf yang berdekatan mahrajnya, diletakkan berdekatan di dalam kata dan rangkaian kata. Apabila mahrajnya berjauhan, maka akan dipisah dengan huruf yang akan menghilangkan kesunyian (karena nadanya tidak bagus, pnj), dan menghadirkan huruf yang menjadikan mahraj tadi terasa ringan di pendengaran. Berulang-ulang sebagaimana lazimnya irama musik.
Al Qur’an tidak mengatakan dengan ungkapan “Kal baa’iq al Mutadaffiq” (hujan deras), tetapi diungkapkan dengan lafadz “Kasyayyibin”. Al Qur’an tidak mengatakan dengan lafadz Hu’khu’” (kain sutra), tetapi mengatakan dengan lafadz “sundusin”. Tidak dengan lafadz “Kalbu’aaq” (awan yang mengandung air), tetapi dengan lafadz “Kamuznin”. Apabila suatu hal menuntut penggunaan huruf-huruf yang berjauhan, tetapi maknanya sesuai, maka tidak digunakan huruf-huruf yang lain, seperti kata “dlizaa”. Tidak digunakan lafadz “dzaalimah” atau “jaairah”, meskipun maknanya sama, yaitu kedzaliman. Ditambah lagi dengan penggunaan huruf-huruf, karena huruf-huruf yang digunakan dihadirkan dalam ayat-ayat dan secara jelas pengulangannya. Misalnya: dalam ayat kursi, huruf lam diulang sebanyak 23 kali dengan bentuk yang nyaman di telinga, sehingga menajamkan dan ada nilai tambah bagi pendengaran. Demikianlah, kita menemukan bahwa Al Qur’an memiliki mode yang khas dan kita temukan setiap makna datang dengan lafadz-lafadz yang sesuai. Dan, setiap lafadz sesuai untaian lafadz dan sesuai dengan maknanya. Dan, kita tidak menemukan adanya perbedaan [pola-pola tersebut] di ayat-ayat yang lain.
I’jaz Al Qur’an sangat jelas pada uslubnya, [yakni] pola ungkapan khas yang tidak sama dengan perkataan (kalam) manusia. Perkataan manusia tidak akan mampu menyamai Al Qur’an dari sisi “penancapan makna” pada lafadz dan rangkaian lafadz; dan dari sisi letak lafadz bagi orang yang memahami balaghah dan mendalami makna-maknanya. Sehingga, orang-orang tersebut tertunduk dan hampir-hampir bersujud karenanya. Sedangkan, orang-orang yang tidak memahami [maknanya], suara-suara rangkaian lafadz tersebut akan memikatnya dan membuat ia tertunduk, meskipun tidak memahami maknanya. Oleh karena itu, Al Qur’an adalah mukjizat dan akan selalu menjadi mukjizat hingga hari kiamat.
Al Qur’an Al Karim; Turunnya, Pengumpulannya dan Penulisannya
Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara terpisah-pisah (al mufarraq) selama waktu dua puluh tiga tahun, dan turun dalam situasi yang berbeda-beda. Kadang turun secara berturut-turut, dan kadang terlambat (dalam waktu yang lama, pnj).
Al Qur’an tidak diturunkan dalam satu waktu (al daf’ah al wahidah), tetapi berangsur-angsur (al munajjam). Hikmahnya, Allah SWT sebutkan dalam Al Qur’an:
“Berkatalah orang-orang kafir: ‘Mengapa Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya satu kali saja?’ Demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqaan [25]:32)
Maknanya, Allah SWT menurunkannya secara terpisah-pisah agar bisa memperkuat hatimu, sehingga kamu tersadarkan dan menghafalnya. Allah SWT berfirman:
“Dan, Al Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkan bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’ [17]:106)
Maknanya, Kami turunkan Al Qur’an bagian demi bagian secara berlahan-lahan, menancap dan membekas, yakni sesuai dengan kondisi [kejadian-kejadian].
Al Qur’an turun kepada Rasulullah SAW, kemudian beliau menyuruh untuk menghafalkan di dada dan menulisnya di lembaran kulit dan lembaran kertas, di tulang-tulang, pelepah kurma dan lempengan-lempengan batu. Beliau berkata, “Ketika ayat-ayat atau sebagian ayat turun, tulislah ayat ini di surat ini, setelah ayat ini.” Kemudian para sahabat menulisnya dan meletakkan pada surat [yang ditunjukkan Rasul tersebut].
Pengakuan (al iqrar) Rasul dan ijma’ sahabat terhadap penulisan tersebut, serta fakta adanya perbedaan dalam penulisan kata pada surat-surat yang berlainan, padahal lafadz dan maknanya satu, semua itu merupakan dalil yang jelas, bahwa pengumpulan dan pembukuan mushaf bersifat paten (tauqifi) dari Allah SWT.
Sesungguhnya, atas tanggungan kamilah mengumpulkannya dan [membuatmu pandai] membacanya.” (QS. Al-Qiyaamah [75]:17)
“Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]:9)

Penulisan Al Qur’an Al Karim

Penulisan Al Qur’an merupakan hak paten (tauqifi) dari Allah SWT, dan kita tidak boleh berbeda dengan itu. Dalilnya adalah bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sekretaris (al kuttab) wahyu, dan mereka menulis Al Qur’an dengan bentuk tulisan yang seperti itu dan Rasul mengakui tulisan mereka. Bahkan, ketika Rasul kembali ke Rahmatullah Al Qur’an dengan bentuk tulisan [sekretarisnya] tidak mengalami perubahan dan pergantian. Tidak ada riwayat satu pun yang berbeda dengan penulisan seperti itu. Pada masa khalifah Usman bin Affan ra. Lembaran-lembaran yang ada pada Hafshah, Ummul mukminin, ditulis kembali. Khalifah ke tiga tersebut kemudian memerintahkan untuk membakar seluruh lembaran selainnya, dan para sahabat ra. mengakui semua itu.
Oleh karena, itu tidak boleh ditanyakan, mengapa kata ( ) di dalam Al Qur’an ditulis dengan wawu dan alief ( ) dan tidak ditulis dengan ya’ dan alief. Tidak boleh ditanyakan, mengapa kata ( ) dalam surat Al Baqarah menggunakan sin dan kata ( ) dalam surat Al A’raf menggunakan shod, padahal artinya sama. Tidak boleh ditanyakan, apa sebabnya ada tambahan alief pada kata ( ) bukannya ( ); dan apa sebabnya ada tambahan alief pada kata ( saau ) dalam surat Al Haj, sedangkan dalam surat Saba’ alief dihilangkan menjadi ( ); danapa sebabnya ada tambahan alief pada kata ( utuwan ) dalam surat Saba’ sedangkan dalam surat Al Furqan alief dihilangkan menjadi ( ); dan apa sebabnya dalam surat Al Baqarah ada tambahan alief pada kata ( ), sedangkan pada kata ( bau ), ( jau ), ( fau ) dihilangkan; dan mengapa ada tambahan alief pada kata ( ) sedangkan dalam surat Al Nisaa’ dihilangkan menjadi ( ).
Tidak dapat ditanyakan, mengapa dibuang sebagian huruf-huruf dari kata yang serupa, sementara yang lain tidak. Seperti terbuangnya alief pada kata ( ) dalam surat Al Zukhruf dan Yusuf, sementara dalam surat-surat yang lain tetap ada. Menetapkan wawu sesudah alief pada kata ( ) dalam surat Fushshilat, sementara pada surat-surat yang lain dibuang. Perbedaan dalam penulisan-penulisan kata-kata yang sama pada surat-surat yang berlainan, padahal makna dan lafadz tidak berbeda, merupakan dalil bahwa penulisan adalah sima’i (sesuai dengan yang didengar) bukan masalah ijtihad dan pemahaman. Segala sesuatu yang dikembalikan pada sima’i adalah paten (tauqifi). Tidak didengar adanya perbedaan tulisan mushaf (rasmu al mushhaf) dengan tulisan mushaf ini, seperti halnya tidak didengar adanya perbedaan dalam urutan-urutan ayat. Ini semua menunjukkan bahwa penulisan Al Qur’an adalah paten dari Allah SWT. Pengakuan Rasul dan ijma’ sahabat atas tulisan ini dan fakta adanya perbedaan tulisan kata pada surat-surat yang berbeda, padahal lafadz dan maknanya satu, semua itu merupakan dalil yang gamblang bahwa penulisan mushaf adalah tauqifi, yang wajib satu-satunya untuk diikuti dan haram menulis mushaf selain dengan tulisan ini.
Tulisan tersebut tidak boleh diubah secara mutlak. Tidak dapat dikatakan bahwa sesungguhnya Rasul SAW adalah ummi, maka penetapannya (al taqrir) tidak absah. Tidak dapat dikatakan demikian, karena Rasul memiliki juru tulis yang mengetahui tulisan (al khuthuth), mereka suatu waktu mensifatkan kepada beliau dan kadang-kadang mendiskusikan tentang penulisan sebagian huruf Al Qur’an Al Karim. Terlebih lagi, beliau mengetahui bentuk-bentuk huruf seperti yang termaktub dalam beberapa hadits. Dan, realitasnya penulisan surat-surat yang akan dikirimkan kepada para raja (penguasa), ditulis dengan tulisan biasa dan tidak seperti tulisan Al Qur’an ketika diturunkan, padahal yang mendiktekan adalah sama [yaitu Rasul] dan penulisan juga sama yaitu para juru tulis itu. Kewajiban mengikuti Khot Usmani (al rasmu al usmany) bagi Al Qur’an terbatas hanya tulisan mushaf saja. Adapun tulisan Al Qur’an yang dipersaksikan atau tulisan di papan tulis untuk belajar dan lain-lain yang ditulis selain lembaran adalah boleh. Sebab, pengakuan (al iqrar) Rasul SAW dan ijma’ sahabat terbatas hanya pada mushaf dan tidak pada yang lain. Yang lain tidak dapat dianalogikan (al qiyas) dengan itu, karena hal ini merupakan perkara yang paten dari Allah SWT.

Bacaan dengan “Ahruf Sab’ah” (tujuh huruf)

“Sesungguhnya Al Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf (sab’atu ahruf), bacalah yang mudah di antara tujuh itu.” Hadits Syarif.
Lafadz-lafadz Al Qur’an tidak keluar dari tujuh huruf ini, meskipun cara mendatangkan (aada’) dan bacaannya (qiro’at) bermacam-macam. Tujuh huruf tersebut, yaitu:
1. Perbedaan pada i’rab1. perbedaan ini adakalanya mengubah makna dan adakalanya tidak.
Seperti firman AllahSWT:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya.” (QS. Al- Baqarah [2]:37)
Ayat tersebut kadang-kadang dibaca: (arab)
“Kemudian kalimat itu menemui Adam dari Tuhannya.” (QS. Al- Baqarah [2]:37)
Dan, yang tidak mengubah makna seperti firman-Nya:
“Dan, janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan.” (QS. Al- Baqarah [2]:282)
lafadz wala yudlaarra“ bisa dibaca dengan “wala yudlaarru
2. Perbedaan huruf. Perbedaan ini adakalanya dengan perubahan makna tetapi bentuknya tidak, [yaitu] yang biasanya diungkapkan dengan perbedaan titik (al nuqtah). Seperti: ya’lamuuna (mereka mengetahui) dan ta’lamuuna (kalian mengetahui). Dan, adakalanya dengan perubahan bentuk tetapi maknanya tidak, contoh: Al shiraath dan al siraath (jalan) (QS Al-Faatihah [1]:6); dan al mushaithirun dan al musaithirun (berkuasa) (QS. Ath-Thuur [52]:37). Mushaf ditulis dengan shaad sebagai ganti dari sin, yang merupakan aslinya. Membaca (qira’ah) shaad sesuai dengan tulisan mushaf secara nyata (tahqiq), sedangkan sin secara perkiraan (taqdir).
3. Perbedaan isim dalam tunggal (al mufrad), makna dua (al tatsniyah) dan makna banyak (al jama’); atau laki-laki (al mudzakkar) dan wanita (al ta’nits), seperti dalam firman-Nya:
“Dan, orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji-janjinya.” (QS. Al-Mu’minuun [23]:8)
Lafadz li amaanaatihim sering dibaca dengan mufrad, yakni li amaanatihim. Pendatangan (‘adaa’) dua cara, pada hakikatnya tetap satu. Karena, jika dibaca mufrad yang dimaksud adalah jenis (qashdu al jinsi) dan jenis maknanya banyak. Sedangkan, jika dibaca jama’, sedangkan maksud jama’ adalah menghabiskan individu-individu (istighraq li al afrad) dan makna istighraq sendiri adalah jenis (al jinsiyah).
4. Perbedaan karena mengganti kata dengan kata lain yang maknanya sama (al muradif), karena perbedaan lidah (al lisan) antara satu kabilah dengan kabilah yang lain. Firman Allah SWT:
“Seperti bulu yang dihambur-hamburkan” (QS. Al-Qaari’ah [101]:4)
biasa dibaca ka al shufi al manfuusy.
Al Mazini menceritakan: “Aku mendengar Abu sarar al ghanawi membaca:
“Lalu mereka merajalela di kampung-kampung” (QS. Al-Israa’ [17]:5)
kemudian saya berkata kepadanya, ‘bukan haasuu tetapi jaasuu,’ lalu Abu Sarar berkata, haasuu dan jaasuu adalah sama. Dan, aku juga mendengar ia membaca:
“Dan, [ingatlah] ketika kalian membunuh seorang manusia lalu kalian saling tuduh menuduh tentang itu.” (QS. Al-Baqarah [2]:72)
kemudian saya berkata kepadanya, ‘bukan nasmatun tetapi nafsun, lalu ia berkata, nasmatun dan nafsun adalah sama.”
“Sesungguhnya, kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (QS. Al-Muzzammil [73]:7). Sabhan dan sabkhan maknanya sama yaitu menyelesaikan pekerjaan (al faragh).
Atau, karena dua kalimat yang saling mengganti tersebut berdekatan tempat keluarnya huruf (mahraj), seperti firmannya:
“Dan, pohon pisang yang bersusun-susun [buahnya].” (QS. Al-Waaqi’ah [56]:29). Thalhun biasa dibaca dengan thal’un, karena memperhatikan bahwa mahraj ‘ain dan ha’ adalah sama.
5. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan kata, yang memang diketahui mengapa didahulukan dan diakhirkan, baik secara umum dalam bahasa Arab atau secara khusus dalam rangkaian pengungkapan (nasqu al ta’bir). Seperti firman Allah yang menerangkan keadaan orang-orang mukmin, bahwa Allah membeli diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah:
“Lalu, mereka membunuh atau terbunuh.” (QS. At-Taubah [9]:111)
Ayat tersebut sering dibaca dengan fa yuqtaluuna wa yaqtuluuna. Ungkapan yang pertama, mengesankan bahwa orang-orang mukmin secara cepat membunuh (mengalahkan) musuh, sedangkan ungkapan yang kedua, mengesankan seakan-akan mereka berduka cita untuk masuk ke medan pertempuran, dengan suatu harapan Allah SWT menjadikan mereka sebagai syuhada. Jadi, berbedaan ini hanya dalam bentuk pengungkapan (shighat al ta’bir), yakni dengan mendahulukan dan mengakhirkan kata, sedangkan aada’ dua ungkapan tadi selamanya sama, dan tidak ada perubahan apa pun.
6. Perbedaan dengan adanya sedikit tambahan atau pengurangan, mengikuti kebiasaan Arab yang pada suatu waktu membuang huruf jar1 dan huruf ‘ataf2, sedangkan pada keadaan yang lain menetapkan huruf-huruf tersebut. Bagian ini tidak dianggap tambahan atau pengurangan kecuali pada huruf-huruf yang sangat sedikit dan terbatas, itu pun dengan perhatian (al tanbih) sebagai sesuatu yang menyalahi aturan (al syadz) selama tidak dijaga (dianggap) oleh imam-imam yang terpercaya. Di antaranya yang termasuk tambahan adalah firman Allah SWT dalam surat At Taubah:
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.” (QS. At-Taubah [9]:100). Jannatin tajrii tahtaha al anhaar sering dibaca jannatin tajrii min thatiha al anhar.
Dan, yang termasuk pengurangan adalah firman-Nya:
“Mereka (orang-orang kafir) berkata: Allah mempunyai anak.” (QS. Al- Baqarah [2]:116). Ayat tersebut sering dibaca qaaluu, tanpa ada wawunya.
7. Perbedaan dialek (al lahjat), yaitu pada fathah, imalah, tarqiq, tafkhim, hamzah, tashil, kasrahnya huruf mudhara’ah, mengganti sebagian huruf, isba’ mim dzukur dan ismam-nya sebagian harakat. Seperti firman Allah:
“Sudahkah sampai kepadamu [ya Muhammad] kisah Musa.” (QS. An- Naazi’aat [79]:15)
Dan, firman-Nya:
“Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun [kembali] jari-jemarinya dengan sempurna.” (QS. Al-Qiyaamah [75]:4).
Pada ayat tersebut kata ataa, muusaa dan balaa dibaca imalah.
Dan, firman Allah SWT:
“Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha Melihat [dosa-dosa hambanya].” (QS. Al-Israa’ [17]:17).
Pada ayat tersebut kata khabiiran dan bashiiran dibaca tarqiq huruf ra’ –nya.
Dan, seperti membaca tafkhim terhadap lamnya kata al shalaatu dan al thalaaqu.
Firman-Nya: qad aflaha (sungguh beruntung), dibaca dengan menghilangkan hamzah, yakni qadaflaka. Dan, firman-Nya: wa taswaddu wujuhun (Wajah menghitam), nahnu ‘a’lamu (Kami mengetahui) dan alam ‘i’hid (bukankah Aku telah memerintahkan) ayat-ayat tersebut dibaca dengan harakat kasrah pada huruf mudhara’ah-nya.
Dan, firman Allah SWT:
“Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk.” (QS. Al- Fath [48]:6).
Ayat tersebut dibaca dengan isba’ mim dzukur-nya.
Dan, firman-Nya:
“Dan, air disurutkan.” (QS. Huud [11]:44).
Dibaca dengan meng-isymam-kan dhomah-nya ghain ke kasrah.
Point yang terpenting dari tujuh point di atas adalah point yang terakhir, karena menampakkan hikmah yang besar dalam turunnya Al Qur’an. Hal itu meringankan dan memudahkan umat yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan berbeda-beda dialeknya, sehingga aada’ mereka terhada sebagian lafadz menjadi jelas.
Rasulullah SAW bersabda: (arab)
“Jibril membacakan kepadaku suatu huruf, lalu saya menirukannya. Maka,saya tidak memintanya kembali hingga selesai tujuh huruf.”

Ayat-Ayat Bayyinat

Para ahli mengkaji penjuru-penjuru alam, dan mampu menghasilkan senyawa-senyawa dan materi-materi baru; dan mampu menambatkan hukum-hukum (al qowanin) dan aturan-aturan alam. Mereka mempelajari sampai mengerti; Meneliti sampai melahirkan sesuatu; Mencoba sampai menghasilkan sesuatu; Mangkaji sampai mendapatkan temuan-temuan; Memperhatikan sampai merenung; Berpikir sampai pada suatu kesimpulan. Bersungguh-sungguh sampai menemukan [hasilnya]. Semua itu menunjukkan kemampuan manusia, kekuatan kecerdasannya dan pengindraannya. Akan tetapi, meskipun manusia sangat cerdas, mampu menemukan dan “menciptakan” sesuatu, bahkan kecerdasannya sampai pada batas yang sulit untuk diungkapkan, sebetulnya manusia sangat kecil (bodoh) jika dibanding dengan ilmu Allah Jalla wa ’Ala yang menjangkau segala sesuatu. Inilah yang digambarkan Al Qur’an kepada kita, meskipun hati [akal] kita masih terpukau dengan ilustrasi-ilustrasi yang memukau tersebut. Allah SWT berfirman:
“Dan, seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut [menjadi tinta], ditambah tujuh laut [lagi] sesudah [kering] nya, niscaya kalimat Allah tidak akan ada habis-habisnya. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman [31]:27)
Dan, firman-Nya di surat yang lain:
“Katakanlah: kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk [menulis] kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis [untuk menulis] kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami (Allah) datangkan tambahan sebanyak itu [pula]” (QS. Al-Kahfi [18]:109)
Ayat-ayat di atas menjelaskan kepada kita tentang laut yang membentang luas dan melimpah yang berisi tinta, lalu tinta tersebut kita pergunakan untuk menulis kalimat-kalimat Allah yang menunjukkan ilmu-Nya. Dan, ayat tersebut juga menjelaskan tentang pohon-pohon yang diilustrasikan menjadi pena yang sangat banyak, lalu pena-pena tersebut digunakan untuk menulis kalimat Allah. Yang sangat menakjubkan ialah, jika seluruh pohon di dunia ditebang lalu dijadikan pena; dan seluruh air laut diubah menjadi tinta, bahkan dihadirkan lagi laut yang sama, maka manusia tidak akan mampu menulis kalimat-kalimat Allah [seluruhnya] yang menunjukkan keluasan ilmu Allah. Pohon dan laut akan habis, sedangkan ilmu Allah tidak akan pernah habis. Sebab, Ilmu Allah tidak ada batas dan tepinya, iradah Allah tidak tertolak, dan kehendak-Nya (al mai’syah) berlangsung tanpa ada batasnya.
Dengan contoh ilustrasi yang terindra dan faktual ini, Allah SWT mendekatkan suatu gambaran makna yang tidak terbatas kepada manusia yang bersifat terbatas. Ilmu manusia, meskipun sangat tinggi, masih tetap berada dalam cakupan qudrah-Nya. Sedangkan, ilmu Allah tidak terbatas. Sesungguhnya, sesuatu yang terbatas meskipun sangat tinggi pasti akan berakhir juga. Sedangkan, sesuatu yang tidak terbatas tidak akan pernah berkurang sedikit pun.
Ini adalah relitas. Dalilnya adalah bukti kekuasaan-Nya yang tersebar di segenap penjuru alam semesta, kehidupan dan pada diri manusia sendiri.
“Dan, banyak sekali tanda-tanda [kekuasaan Allah] di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling darinya.” (QS. Yusuf [12]:105)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda [kekuasaan] Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.” (QS. Fushshilat[41]:53)
Telah ditetapkan oleh manusia di dalam temuan ilmiahnya bahwa segala sesuatu, dari yang sekecil atom hingga sebesar benda-benda angkasa yang berenang di ufuknya, berjalan sesuai dengan aturan yang detail, menakjubkan, sangat sempurna dan sangat presisi. Semua itu merupakan bukti yang paling sederhana bahwa tidak mungkin alam berjalan dengan sendirinya, tanpa ada kehendak yang Maha Sadar (al iradah al wa’iyah) dan kekuatan yang Maha Bijaksana (al quwwah al hakimah) serta kekuatan yang Maha Kuasa (al quwwah al qadirah). Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran-ukurannya. Inilah yang diperkuat oleh Al Qur’an Al Karim dalam surat-surat dan ayat-ayat yang sangat banyak.
“Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qamar [54]:49)
“Dan, Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqaan [25]:2)
“Dan, tidak ada satu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS. Al-Hijr [15]:21)
“Begitulah ciptaan Allah yang meyakinkan tiap-tiap sesuatu.” (QS. An-Nahl [16]:88)
Dengan melakukan kajian-kajian dan pembahasan-pembahasan, baik berhubungan dengan kehidupan manusia atau kehidupan tanaman dan hewan; atau tentang air dan udara; atau tentang gunung dan angin; atau tentang seluruh alam dengan seluruh tanda-tanda yang tidak mengetahui hakikatnya kecuali Allah, akan menguatkan penciptaan ini dan penetapan ukuran-ukurannya oleh yang Maha Sadar, Maha Tinggi dan Maha Menghendaki.
Tidak ada seorang ilmuwan pun yang memahami Al Qur’an, lalu berdiri pada sebagian sisi-sisinya, kecuali akan menyakininya dan tidak ada keraguan sedikit pun. Di dalam Al Qur’an Al Majid terdapat isyarat tentang ilmu dan pembahasannya. Yang diisyaratkan oleh Al Qur’an tidak akan bertentangan dengan konklusi yang sudah dicapai; atau akan dicapai oleh temuan-temuan ilmiah.
Alex lawazim (Seorang orientalis) berkata, “Muhammad meninggalkan sebuah kitab, yang merupakan ayat yang sangat baligh dan surat perjanjian tentang moral (akhlaq). Kitab tersebut adalah kitab yang suci. Tidak ada masalah-masalah ilmiah atau temuan-temuan modern yang bertentangan dengan asas islam. Terdapat keselarasan yang sempurna antara informasi-informasi Al Qur’an dengan hukum-hukum alam.”
Gotah (Dan, orientalis lain) berkata, “Sesungguhnya, informasi-informasi Al Qur’an adalah praktis dan sesuai dengan kebutuhan pemikiran manusia.”
Adapun salah satu keistimewaan Al Qur’an yanng menjadikannya sangat unik dengan karakteristik-karakteristiknya, sehingga tidak mungkin ada yang menyamainya. James Maitsner (juga, orientalis lain) berkata, “Al Qur’an mungkin kitab yang paling banyak dibaca di seluruh dunia. Kitab yang paling mudah dihafal dan paling berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari bagi orang yang mengimaninya. Kitab yang tidak panjang seperti ‘perjanjian lama.’ Ditulis dengan teknik yang tinggi, dekat dengan syair dan prosa (al natsar) [tapi bukan keduanya]. Salah satu keistimewaannya adalah menjadikan hati tentram, dan menjadikan iman bertambah dan semakin tinggi, ketika mendengarkannya. Wazan dan ketukannya (al taqqattu’) seperti alunan genderang, gema alam dan nyanyian-nyanyian yang dikenal pada golongan-golongan terdahulu (al jama’at al qadimah). Al Qur’an mengatur aktivitas yang terkait dengan interaksi di antara manusia. Keserasian antara ibadah kepada Tuhan yang satu dengan pengetahuan-pengetahuan praktis, menjadikan Al Qur’an adalah kitab yang unik dan satu kesatuan yang saling berkaitan.”
Pandangan Al Qur’an mendahului dan membimbing kemajuann temuan-temuan ilmiah (al iktisyafat al ‘ilmiyah). Antara hukum-hukum Al Qur’an dan hasil-hasil ilmu modern yang berkaitan dengan penciptaan alam, manusia dan kehidupan memiliki keselarasan yang sempurna. Di dalam Al Qur’an terdapat hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan dan pengaturan alam, yang ilmu pengetahuan belum tentu dapat mengetahui hakikatnya dan akan selalu terbatas untuk menguraikan misteri yang tersembunyi.
Semua itu adalah untuk menerangkan hakikat Al Qur’an Al Karim, bahkan hanya sebagian kecil dari hakikatnya saja.
“Dan, orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu itulah yang besar dan menunjuki [manusia] kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba’ [34]:6)
Meskipun demikian, yang harus selalu menjadi perhatian adalah bahwa Al Qur’an bukan buku ilmu pengetahuan. Sesungguhnya, ayat-ayat yang terdapat di dalamnya mengisyaratkan hakikat yang berhubungan dengan penciptaan, kehidupan, manusia dan alam semesta. Semua itu hadir adalah untuk mengingatkan tentang hakikat-hakikat dari pengaruh iradah, qudrah, ilmu, hikmat, keseimbangan dan keyakinan. Semua itu menunjukkan bahwa eksistensi Allah SWT adalah benar. Dan, juga akan menghapus filsafat materialisme dan perdebatan yang hanya mengantarkan pada pemahaman bahwa materi dan pergerakannya adalah asal kejadian dan menjadikan kita berputar pada putaran kosong (khayalan belaka) dan berada di pingir jurang yang akan roboh (longsor) sehingga bangunan di atasnya berupa cerita-cerita bohong (al auham) dan kebatilan akan longsor [ke neraka jahanam].
Seluruh kandungan Al Qur’an adalah untuk menguatkan hakikat eksistensi Allah SWT. Mengajak manusia untuk merenung dan berpikir tentang keagungan-Nya dan kebesaran qudrah-Nya. Diantara dalil-dalil ayat tentang penciptaan adalah firman Allah:
“Maka apakah [Allah] yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan [apa-apa]? Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl [16]:17)
“Dan, Tuhanmu menciptakan apa yang dikehendaki dan memilihnya.” (QS. Al-Qashash [28]:68)
“Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan [tujuan] yang benar dan dalam waktu yang ditentukan.” (QS. Al-Ahqaaf [46]:3)
Sesungguhnya, Al Qur’an menjadikan kebiasaan-kebiasaan manusia dan kejadian-kejadian yang berulang-ulang merupakan masalah alam yang besar. Al Qur’an membuka tabir hukum-hukum Tuhan (al qowanin al ilahiyyah) di dalamnya dan menumbuhkan akidah yang agung dan menyeluruh; dan menumbuhkan penggambaran yang sempurna terhadap wujud ini. Darinya Al Qur’an menjadikan manhaj pemikiran dan perenungan; kehidupan bagi ruh dan hati; dan terbangunnya perasaan dan pengindraan. Sesungguhnya, hal itu menyadarkan terhadap berbagai fenomena yang manusia selalu menyaksikan pagi dan sore, tetapi mereka selalu melupakannya. Juga, menyadarkan diri mereka tentang keajaiban-keajaiban dan keanehan-keanehan yang ada di dalamnya.
Dalil paling sederhana dan paling dekat dengan fakta dan eksistensi manusia adalah tentang penciptaan manusia itu sendiri. Apakah manusia tidak melihat dirinya sendiri dan menanyakan: siapa yang telah menciptakannya? Dari mana ia diciptakan? Dan, bagaimana ia diciptakan? Allah SWT bertanya kepada manusia dengan firman-Nya:
“Kami telah menciptakan kalian, maka mengapa kalian tidak membenarkan [hari kebangkitan]? Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kalian pancarkan. Kaliankah yang menciptakannya, atau Kami yang menciptakannya?” (QS. Al-Waaqi’ah [56]:57–59)
Apakah peran manusia dalam proses penciptaannya?. Perannya hanyalah laki-laki meletakkan “air hinanya” di rahim perempuan, setelah itu selesai perannya. Kemudian qudrah-lah satu-satunya yang berperan dalam aktivitas [pengaturan dan proses] “air hina” tersebut. Dialah yang menciptakan, menumbuhkan, membangun bentuknya dan meniupkan ruh ke dalamnya agar bentuk dan ciptaannya menjadi sempurna.
“Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina, kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan lalu Kami tentukan [bentuknya]. Maka Kamilah sebaik-baik yang menentukan.” (QS. Al-Mursalaat [77]:20–23)
“Apakah manusia mengira, bahwa itu akan dibiarkan begitu saja [tanpa pertanggungjawaban]? Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan [ke dalam rahim]. Kemudian, mani menjadi “sesuatu yang menempel”, dan Allah menciptakannya dan menyempurnakannya, serta Allah menjadikan dari padanya sepasang laki-laki dan perempuan.” (QS. Al-Qiyaamah [75]:36–39)
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua bibir; Dan, Kami telah menunjukkan dua jalan kepadanya.” (QS. Al-Balad [90]:8–10)
“Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin [95]:4)
Jadi, alangkah baiknya jika manusia mau memikirkan dari mana ia diciptakan dan memikirkan tanda-tanda (al aayaat) dalam penciptaannya. Realita itu adalah dalil yang paling dekat dan tersebar pada tubuh dan dirinya. Pada saat itulah ia akan melihat kekuasaan Al Khaliq dan segala sesuatu yang telah dihadirkan oleh-Nya, berupa ciptaan-ciptaan yang menakjubkan, kekuatan pengaturan (al tadbir) dan keindahan penciptaan.
Dalil dan buktinya di dalam Al Qur’an banyak sekali, sehingga sulit untuk dihitung. Al Qur’an mengkisahkan kepada kita tentang umat-umat terdahulu; apa [yang membuat] mereka sampai menemukan keimanan dan mendapat petunjuk kepada hakikat Allah SWT yang mutlak; atau terlempar pada kesesatan setan, semakin jauh dari al haq dan semakin dekat dengan kepalsuan dan kebatilan. Jika dalil-dalil dan bukti-bukti tentang “hakikat yang pasti” tidak terjangkau oleh indra, maka Al Qur’an telah menemukan dan memperlihatkan kepada kita tentang ketetapan-ketetapan dan hakikat-hakikat yang selalu mengitari kita dan hidup bersama kita dalam kehidupan di bumi ini. Segala sesuatu yang sangat dekat dengan kita; yang meluruskan kehidupan kita yang bengkok; yang kita selalu berinteraksi dengannya; yang memungkinkan kita untuk menjangkaunya dengan pemikiran; dan yang memungkinkan kita untuk mengambil dalil dengan akal, semua itu adalah ciptaan Allah SWT. Dia menunjukkan dalil kepada kita atas ciptaan-Nya dan menghadirkan dalil yang kokoh di hadapan indra dan jangkauan kita.
Kita selalu melihat segala sesuatu, yakni ciptaan Allah, tetapi kita selalu lupa akan keagungan ciptaan ini dan tempat-tempat yang menakjubkan dalam ciptaan-Nya. Kita [justru] tidak menghiraukannya dan hanya menjadikannya sebagai rutinitas yang berulang-ulang. Inilah karunia Al Qur’an (fadlu Al Qur’an) yang telah membuka mata dan menunjukkan kepada kita, sehingga kita mampu menelaah (melihat) rahasia yang tak terduga yang masih terselubung di dalamnya, dengan ungkapan yang paling rinci dan pengggambaran yang paling benar.
Diantara bukti-bukti yang tersebar dalam eksistensi manusia yang merupakan realita di dalam kehidupan manusia, dan diantara yang tampak oleh indra manusia, mulai dari yang diisyaratkan oleh Al Qur’an sampai yang teraba oleh tangan dan terlihat oleh mata, akan tetapi manusia melupakannya (atau pura-pura lupa), yaitu: tanaman dan pepohonan. Allah SWT berfirman:
“Maka terangkanlah kepadaKu tentang apa yang kalian tanam? kalian yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya? kalau Kami kehendaki, benar-benar kami menjadikannya kering dan hancur.” (QS. Al-Waaqi’ah [56]:63–64)
Peran manusia hanyalah menanam dan menabur biji dan benih yang diciptakan oleh Allah. Kemudian, selesailah peranan manusia. Lalu, Tangan qudrah mengendalikan proses benih yang sangat menakjubkan dan sangat mengherankan. Biji dan benih menapaki jalannya agar kembali pada jenisnya (tidak salah kode genetik, pnj), dan berjalan layaknya orang berakal yang mengetahui tahapan-tahapan dalam perjalanannya. Tidak pernah salah, seperti kesalahan yang dilakukan oleh manusia, walaupun hanya sekali; tidak pernah berpaling dari jalannya; dan tidak pernah tersesat dari tujuan yang telah tergambar padanya.
Bukankah qudrah Allah SWT yang telah mengendalikan biji dan benih tersebut, sehingga menjadi tumbuhan atau pepohonan sempurna yang bentuk dan jenis berbeda-beda (ada mangga, durian dll, pnj)?
Kalau kita melihat realita terindra di hadapan kita, mungkinkah akal membenarkan atau khayalan menggambarkan, jika misalnya biji gandum yang mati (kering) yang tidak ada dahan, daun dan tangkainya, lalu tiba-tiba tumbuh menjadi mayang dan biji yang banyak? Atau, seperti biji yang kering yang tidak ada batang, dahan, daun, bunga, dan buahnya, lalu tiba-tiba tumbuh menjadi pohon korma, zaitun dan tin?
Bukankah hal ini selalu kita saksikan secara berulang-ulang pada setiap saat?
Layakkah manusia mengaku menciptakannya, padahal manusia hanya menabur benih yang telah diciptakan oleh Allah?
Manusia berkata, Kamilah yang menanam (al zar’u, yakni menumbuhkan). Padahal, mereka hanya menabur benih dan menanam (al harsu, yakni seperti mengambil dahan lalu menancapkan ke bumi). Adapun yang menumbuhkan dan mengembangkan semuanya adalah Al khaliq al zaari’. Jika Dia menghendaki, bisa saja biji dan benih tersebut tidak mengetahui jalan pertumbuhannya (tidak mengenal kode genetiknya). Dan, jika Dia menghendaki, biji tersebut akan dijadikannya kering dan hancur sebelum mengeluarkan buah. Akan tetapi, dengan kehendak-Nya, Dia menancapkannya di bumi dan memberi makanan dari unsur-unsur untuk kelangsungan hidupnya. Dia menjadikan makhluk hidup dari sesuatu yang mati. Maha Suci Zat yang Menanam dan Mencipta.
Berkenaan dengan hal itu, Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
“Sesungguhnya, Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.” (QS. Al- An’aam [6]:)
Dia mengeluarkan hidup dari yang mati!
Benar…! Benih tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan jika dijatuhkan (ditanam) di bumi akan terbelah di bagian atas dan bawahnya. Pada bagian bawah akan tumbuh akar yang menancap ke bumi. Akar tersebut digunakan untuk mencari makanan. Pada bagian atas akan tumbuh semacam kecambah (al nubtah) yang akan terus naik (tumbuh) di atas permukaan bumi, dan akhirnya menjadi tumbuhan yang bercabang-cabang dan menjulang tinggi. Setelah biji dan benih menjadi tumbuhan, kemudian akan layu dan akhirnya mati.
Kehidupan ini berasal dari sesuatu yang mati, [yaitu] dengan bertemunya prasyarat-prasyarat tertentu. Bukankah semua ini merupakan taqdir Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana?
Tentang masalah tumbuhan ini, Allah SWT menjelaskan dengan firman-Nya:
“Dan, Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, lalu Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan yang menghijau ini butir yang banyak, dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai dan kebun-kebun anggur dan [kami keluarkan pula] zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan perhatikan pula kematangannya. Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda [kekuasaan Allah] bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-An’aam [6]:99)
Ayat di atas merupakan seruan Al Khaliq [untuk memperhatikan] buah-buahan yang kita makan, tetapi kita tidak pernah memikirkannya. Seruan tersebut bertujuan agar kita memperhatikan, memikirkan dan merenungkan keluarnya buah-buahan, yakni mulai dari proses keluarnya buah, sempurnanya buah sehingga matang; dan memahami bagaimana proses adanya perbedaan ketika buah masih kecil dan ketika sudah besar, adanya perbedaan warna, bau dan rasa. Bukankah semua itu merupakan bukti yang sangat jelas adanya Sang Pencipta dan Pengatur buah? Orang-orang yang beriman dengan hakikat, pasti akan mengambil pelajaran dari buah-buahan tersebut, dan akan mengambil manfaat dari pelajaran tersebut.
Salah satu bukti kekuasaan Allah SWT yang disebut berulang-ulang dalam Al Qur’an karena urgensinya dalam kehidupan manusia dan kehidupan semua makhluk hidup (biotik) adalah air. Air itulah yang selalu diminun oleh manusia, digunakan untuk memberi minum hewan-hewan, dan untuk irigasi tanaman-tanaman. Dengan air, sungai dan laut menjadi penuh.
Bukankah kita selalu melihat air setiap hari sebagai senyawa utama penyusun tubuh kita dan penopang seluruh kehidupan kita?
Tuhan Yang Kuasa menanyakan kepada kita tentang air yang selalu kita minum, Apakah kita yang menurunkannya atau Dia yang menciptan dan menurunkannya? Dalam firman-Nya:
“Maka terangkanlah kepadaKu tentang air yang kalian minum. Apakah kalian yang menurunkan dari awan atau Kami yang menurunkannya? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapa kalian tidak bersyukur?” (QS. Al-Waaqi’ah [56]:68–70)
Benar, air merupakan asal dan unsur kehidupan. Kehidupan tidak akan bisa berkembang [bahkan akan berhenti] tanpa adanya air, seperti yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Lantas, apa peran manusia terhadap air? Peran manusia hanya meminumnya, memberi minum hewan-hewan dan mengairi tumbuh-tumbuhannya. Adapun yang menyusun air, yang meng-ada-kan pada tubuh manusia dan pada seluruh tubuh makhluk hidup, yang membangunnya dari unsur-unsurnya (hidrogen dan oksigen), yang menurunkan dari mendung dan awan, adalah Allah SWT. Allah SWT telah mentakdirkan air menjadi tawar, sehingga kehidupan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Jika Allah SWT menghendaki, Dia akan menjadikan seluruh air menjadi asin, sehingga kehidupan tidak akan bisa berjalan dan tidak akan berkembang. Tidakkah manusia bersyukur dengan karunia Tuhannya yang telah berkehendak sehingga kehidupan berjalan sebagaimana mestinya?
Ayat-ayat Al Qur’an telah menerangkan qudrah Allah SWT tentang penciptaan air, dengan firman-Nya:
“Dan, Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi. Dan, Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia ini (punya) keturunan dan mushaharoh. Dan, Tuhanmu Maha Kuasa.” (QS. Al- Furqaan [25]:53–54)
Dan, firman-Nya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanaman-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekunig-kuningan, kemudian dijadikannya hancur berderai-derai. Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar [39]:21)
“Allahlah yang menundukkan lautan untuk kalian supaya kapal-kapal dapat berlayar dengan seizin-Nya, dan supaya kalian dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kalian bersyukur.” (QS. Al- Jaatsiyah [45]:12)
“Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu berhenti di permukaan laut. Sesungguhnya, pada yang demikian terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur.” (QS. Asy-Syuura [42]:32–33)
“Dan, sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi sesudah matinya dengan air itu?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’. Katakanlah ‘segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya.” (QS. Al-‘Ankabuut [29]:63)
“Dan, dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al- Anbiyaa’ [21]:30)
Bahka, bumi yang keras dan kering; diam dan mati; tidak ada kehidupan di dalamnya; tidak ada keelokan sedikitpun; dan tidak ada pertumbuhan, ketika diguyur air, maka bumi tersebut akan berguncang dan bergerak setelah diamnya; akan berbunga setelah layunya; akan berkembang setelah keringnya; akan tampak elok berseri dengan tumbuhnya pepohonan, bunga-bunga dan tanaman. Maha Suci zat yang telah mengingatkan orang-orang yang ingkar dengan nikmatnya, dan menakut-nakuti orang tersebut dengan hari kebangkitan, yaitu dengan firman-Nya:
“Dan, kamu lihat bumi itu kering, kemudian apabila telah kami turunkan air di atasnya, maka bumi itu menjadi hidup, subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Hajj [22]:5–6)
Tiada Tuhan selain Allah. Bagi-Nya segala puji dan syukur; kenikmatan dan keridhaan atas ciptaan-Nya; turunnya air hujan dan kehidupan seluruh makhluk hidup, yaitu ketika Dia menciptakan seluruh makhluk hidup dari air.
Seperti halnya air, Allah SWT membuat contoh kepada manusia berupa api (al nar), yang selalu manusia gunakan. Allah SWT menanyakannya kepada manusia dalam firman-Nya:
“Maka terangkanlah kepadaKu tentang api yang kalian nyalakan [dari gesekan-gesekan kayu]. Apakah kalian yang menjadikan kayu atau Kami yang menjadikannya? Kami menjadikan api untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.” (QS. Al-Waaqi’ah [56]:71–73)
Sungguh, penemuan api oleh manusia adalah sesuatu yang sangat besar bagi kehidupa manusia. Atau, mungkin yang terbesar untuk membangun peradaban manusia. Akan tetapi, api dianggap suatu hal yang biasa dan tidak mendapat perhatian sedikit pun. Manusia menyalakan api tanpa mengetahui rahasianya sedikit pun. Manusia juga tidak pernah berpikir siapa yang membuat api, dan siapa yang menumbuhkan kayu-kayu yang mereka gunakan untuk menyalakannya. Oleh karena itu, Al Qur’an sangat mendesak [akan arti penting] sesuatu yang dianggap biasa dalam kehidupan manusia, sehingga manusia ingat Penciptanya, pencipta api, pohon-pohon dan segala sesuatu. Kemudian, dengan memperhatikan api yang memiliki energi panas, mereka menjadi ingat akan api neraka dan ingat pada penantiannya jika ia tidak beriman, tidak jujur, tidak berjalan sesuai dengan iradah dan masyiah Allah SWT, tidak berjalan sesuai dengan petunjuk-Nya dan tidak melakukan apa saja yang Allah perintahkan kepadanya. Dialah Allah SWT yang menumbuhkan pohon-pohon yang dapat digunakan bahan bakar (al waqud).
Rahasia-rahasia api (yang merupakan mukjizat) bagi para ilmuwan selalu menjadi objek kajian, pemikiran dan perhatian. Dan, ilmu pengetahuan tersebut justru memperkuat ayat-ayat Al Qur’an, yaitu tentang sumber pembakaran yang menghasilkan api. Para ilmuwan menyatakan bahwa api merupakan penampakan panas yang selalu bertambah-tambah, yang dihasilkan dari pembakaran material. Sedangkan, pembakaran adalah reaksi kimia antara material dengan oksigen. Akan tetapi, pembakaran yang menghasilkan panas hanyalah reaksi oksigen dengan karbon (bukan dengan unsur yang lain). Secara alami karbon terdapat di berbagai material baik materi hidup atau mati. Hanya saja, keberadaannya paling banyak terdapat di pepohonan. Jaringan pohon (ansijah al nabat) semuanya tersusun dari karbon. Bahkan, karbon hampir menjadi satu-satunya unsur yang menyusun tumbuh-tumbuhan, buah dan makanan-makanannya.
Api sangat penting dalam kehidupan manusia, [yaitu] untuk memanaskan tubuh, memasak makanan dan untuk menggerakkan industri. Kalau saja, api tersusun seperti air dan udara, maka hancurlah kehidupan ini dan akan terjadi bahaya yang terus-menerus. Hendaknya manusia berpikir bagaimana Allah SWT menyiapkan unsur-unsurnya; menjadikan unsur-unsur tersebut tersimpan dengan sangat aman pada tumbuh-tumbuhan hijau. Allah SWT memberikan kemampuan kepada kita untuk menyalakannya ketika kita membutuhkan. Allah SWT menjadikannya sebagai kesenangan (untuk mengambil manfaat dan kesenangan hidup), dan peringatan (kita ingat ketika mengeluarkan api dari tumbuhan hijau yang masih basah, yang dalam kondisi tersebut belum bisa kita nyalakan). Sehinnga, kita menjadi ingat terhadap kekuasaan yang agung (al qudrah al ‘adzimah) dan hikmah yang cemerlang (al hikmah al bahirah), yang telah menumbuhkan “pohon api” kepada kita.
Sungguh, Al Qur’an Al karim telah menyebutkan dalam ayat-ayat yang banyak sekali tentang hewan-hewan, baik hewan darat, burung-burung dan lain-lain. Al Qur’an menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan, meskipun hewan-hewan tercipta dari materi yang sama yaitu air dan zat-zat renik (al turab). Al Qur’an banyak menyebutkan tentang penciptaan hewan; penyusunanya; perbedaan jenis dan bentukya; ukuran tubuh dan kekuatannya; warna dan suaranya; dan manfaat dan mudharatnya. Allah berfirman:
“Dan, Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. An-Nuur [24]:45)
“Dan, tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat seperti kalian.” (QS. Al-An’aam [6]:38)
“Dan, demikian [pula] di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak terdapat bermacam-macam warna [dan jenisnya]. Sesungguhnya, yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya, hanyalah ulama’ (ilmuwan).” (QS. Faathir [35]:28)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana unta tersebut diciptakan?” (QS. Al-Ghaasyiyah [88]:17)
Menurut ilmu pengetahuan, unsur-unsur penyusun hewan yang telah diketahui berasal dari debu (zat-zat renik) dan air bumi. Kemudian, menjadi bercabang-cabang dan berbeda-beda sesuai dengan perintah dan qudrah Allah; dan sesuai dengan hukum-hukum Tuhan (al qowanin al ilahiyah) yang menunjukkan pada ketetapan, iradah dan hikmah. Dari ketetapan-Nya, seperti telah ditemukan dalam ilmu pengetahuan, setiap jenis hewan yang beraneka warna, pada mulanya diciptakan Allah dari telur atau dari janin. Terdapat bermacam-macam hewan, dan setiap jenis dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat dan karakteristiknya masing-masing. Hewan-hewan tersebut pada mulanya tercipta dari air, seperti yang telah diungkapkan Al Qur’an al karim.
Salah satu bukti dalam Al Qur’an yang memberi isyarat bahwa Allah SWT penciptanya; dan pemberi petunjuk, wahyu dan ilham kepadanya, yaitu lebah (al nahl). Allah SWT menyebutnya secara spesifik dalam firman-Nya:
Dan, Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibuat manusia,’ kemudian makanlah dari tiap-tiap [macam] buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah memudahkan [bagimu]. Dari perut lebah itu keluar minuman [madu] yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl [16]:68–69)
Sungguh menakjubkan, jika kita mengetahui kehidupan lebah yang telah diisyaratkan oleh Al Qur’an. Lebah membangun sarang dan membaginya menjadi kamar-kamar, layaknya bangunan arsitek (al nidham al handasy) yang menakjubkan. Kamar-kamar kecil diperuntukkan untuk lebah pekerja dan kamar besar untuk raja (ya’sub). Sedangkan ruangan khusus untuk ratu yang sedang hamil. Tugas-tugas lebah terbagi secara jelas, sesuai dengan pembagian kamar-kamar tersebut. Ada lebah yang bertugas mengambil nektar dari sari bunga. Ada juga lebah yang bertugas menyiapkan makanan untuk lebah yang masih kecil. Lebah senior mengunyahkan madu agar mudah dicerna untuk lebah yunior. Ketika lebah yunior sampai batas yang tidak memerlukan bantuan lagi, para pekerja tidak mengunyahkannya. Kerjasama sosialnya (al ta’awun al ijtima’iy) berlangsung secara kontinyu, tidak berubah dan melenceng pada sepanjang masa. Organisasinya sangat prima dan sangat sulit ditiru, bahkan oleh lembaga sosial (al muassasah al ijtimaiyah) paling profesional yang dikelola oleh manusia, yang katanya, berakal dan beradab. Demikianlah kehidupan lebah.
Sedangkan dari sisi kemanusiaan, hendaknya kita merenungkan bahwa lebah telah memproduksi rejeki untuk kita berupa madu yang sangat lezat. Allah SWT menciptakan madu sebagai obat untuk beberapa penyakit. Bukankah Allah SWT, seperti yang telah Dia sampaikan kepada kita di dalam kitab-Nya yang agung, telah mengilhamkan kepada lebah untuk membangun sarangnya di gunung, pohon-pohon dan di tempat-tempat lain? Kerja lebah sangat menakjubkan. Lebah memindahkan nektar dari sari bunga dengan mulutnya, dan membawanya melewati ranting-ranting, daun-daun, pepohonan dan tempat-tempat lain yang sulit dijangkaunya. Hendaknya kita merenungkan bagaimana lebah meletakkan muatan yang dibawanya di tempat-tempat tertentu yang memiliki sifat-sifat tertentu. Sehingga, dihasilkan madu yang bersih dan yang di dalamnya terdapat kelezatan bagi orang-orang yang meminumnya, dan terdapat obat bagi orang yang memakannya.
Nektar yang dipetik dari bunga tanaman dan pohon-pohon mempunyai warna yang beraneka ragam. Ada yang sangat putih, ada yang kuning, ada yang kemerah-merahan atau kehitam-hitaman. Warna yang berbeda berasal dari campuran zat dengan warna bunga yang diserap oleh lebah. Kemudian, madu tersebut keluar dari perutnya, [yakni] lewat mulut lebah seperti air liur (al riq). Allah SWT menyatakan bahwa madu keluar dari perutnya dan bukan dari mulutnya. Hal ini agar kita (al saami’) tidak menduga bahwa madu sekedar keluar lewat mulut saja dan tidak dari perut; atau dikeluarkan lewat anusnya seperti kotoran-kotoran hewan. Keluarnya madu lewat mulut lebah merupakan salah satu karakteristik yang mendorong kita untuk mengambil pelajaran, karena seluruh hewan yang bermanfaat lainnya, mengeluarkan manfaatnya tidak dari mulut (seperti ayam, sapi, kambing dan hewan yang “bermanfaat” lainnya). Diantara pelajaran yang lain dari lebah adalah madu yang di dalamnya terdapat obat. Yang sangat menakjubkan, madu tersebut keluar dari tempat keluarnya racun, yaitu tempat sengatannya.
Salah satu keajaiban dan keindahan lebah adalah wataknya (tabiat) yang telah diciptakan Allah SWT. Tabiatnya berupa pengorganisasian dan pengaturan komunitasnya. Setiap komunitas terdapat raja (ya’sub) sebagai pimpinannya (amir), yang selalu (bergerak) paling depan. Raja menjaga dan mengatur urusan-urusan lebah, sedangkan lebah-lebah yang lain mengikuti di belakangnya. Jika pimpinannya tidak ada, maka sistemnya menjadi pudar, hilanglah pilar-pilar (aturan) lebah dan akhirnya lebah bercerai-berai pergi ke segala arah.
Sesungguhnya, pada yang demikian tadi, terdapat hujjah yang rasional dan petunjuk yang jelas atas keesaan Allah SWT dan keagungan qudrah-Nya bagi orang-orang yang berpikir.
Semisal dengan lebah adalah laba-laba (al ‘ankabut). Laba-laba membangun rumahnya dengan air liur (al li’ab) yang didesain dan disusun dengan teknik arsitek yang menakjubkan. Laba-laba menjadikan rumahnya sebagai jaring dan perangkap untuk memburu makanannya. Dan, yang tak kalah menakjubkan adalah burung (al thuyur). Jika kakinya terluka, burung mampu mengobatinya sendiri dengan membalutnya. Tempat lukanya dibalut tanah basah dan rumput, kemudian burung tersebut berjemur di bawah terik matahari hingga tanah dan rumput menjadi kering. Balutan tanah dan rumput tersebut menjadi ikatan yang kuat seperti layaknya pembalut untuk menjaga anggota [tubuh] yang luka hingga tumbuh daging lagi (sembuh).
Dengan dorongan apa, bahkan naluri apa, hewan-hewan mampu melakukan aktivitas-aktivitas yang mengagumkan, [yang hewan lain] seperti gajah, kuda, macan, bahkan monyet tidak bisa melakukan? Apa hubungan antara lebah dan laba-laba, sehingga masing-masing memiliki ilmu keinsinyuran dan kontruksi bangunan? Bukankah Tuhan yang menciptakan apa yang dikehendaki-Nya? Bukankah Tuhan yang telah memberikan kepada setiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberikan petunjuk?
Al Qur’an juga banyak menyebutkan tentang binatang ternak (al an’aam). Qudrah siapakah, selain qudrah Allah SWT, yang mampu menggabungkan potensi binatang ternak yang memiliki kelemahan dan kehinaan dengan kekuatan yang cukup untuk digunakan sebagai alat produksi pertanian dan transportasi. Pada waktu yang sama, binatang ternak mencukupi kebutuhan makanan manusia, menyediakan pakaian penghangat manusia, membangun rumah dan memenuhi setiap kebutuhan manusia lainnya. Binatang ternak tidak menuntut yang macam-macam, kecuali hanya makanan dan minuman secukupnya, atau [cukuplah] dilemparkan padanya rumput-rumputan, kemudian ia akan makan dan minum dari rejeki Allah SWT tersebut. Benar, qudrah manakah selain qudrah Allah SWT yang mampu menciptakan binatang-binatang ternak dan menjadikannya dengan bentuk seperti ini?, seperti yang difirmankan Allah SWT:
“Dan, apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagai bagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya? Dan, Kami tundukkan binatang-binatang untuk mereka, maka sebagian menjadi tunggangan mereka dan sebagiannya mereka makan. Dan, mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?” (QS. Yaasiin [36]:71–73)
Dan, firman-Nya:
“Dan, sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kalian. Kami memberi kalian minum dari apa yang ada di perutnya (berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS. An-Nahl [16]:66)
Dalam ayat-ayat yang menerangkan dengan jelas ini (al ayat al bayyinat), Allah SWT menghadirkan keajaiban-keajaiban ciptaan-Nya, keindahan hikmah-Nya dan dalil-dalil qudrahnya bagi orang-orang yang mau berpikir. Semua itu akan menjadikan manusia mengetahui dan menetapkan ke-Esa-an Allah SWT, dan mengambil pelajaran (‘ibrah) secara nyata bahwa Al Qur’an adalah kitab-Nya yang kokoh. Allah SWT berkehendak bahwa Al Qur’an manjadi cahaya bagi seluruh manusia. Renungkanlah firman-Nya:
“Dan, sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kalian. Kami memberi minum dari apa yang ada pada perutnya [berupa] susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS. An-Nahl [16]:66)
Al Kalaby meriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Makanan binatang-binatang terdapat pada usus besar. Paling bawah adalah kotoran; paling atas adalah darah; dan tengahnya susu. Darah mengalir lewat urat-urat (al ‘uruq), susu terdapat di kelenjar susu dan kotoran tetap dalam keadaannya. Susu dengan warnanya yang putih dan rasanya yang khas tidak tercampur dengan warna darah yang merah dan bau darah juga tidak tercampur dengan warna kotoran yang kuning dan berbau.” Apa yang diriwayatkan oleh Al Kalaby menunjukkan hakikat realita yang kita temukan. Ilmu pengetahuan menjelaskan tentang aktivitas pencernaan hewan, bagaimana makanan hewan yang pada umumnya berasal dari tanaman diubah menjadi darah, sebagai makanan tubuh. Ada yang diubah menjadi susu yang bersih lagi mudah ditelan bagi yang meminumnya, sementara endapan-endapan dan sisa keluar sebagai kotoran. Secara alami, semua ini merupakan aktivitas dalam tubuh hewan. Setiap anggota tubuh memiliki tugas masing-masing. Hasil dari ketepatan yang sempurna ketika anggota-anggota melakukan aktivitasnya adalah dihasilkannya susu yang mudah “ditelan” dan yang menyempurnakan makanan kita.
Itulah pengaturan Tuhan (al tadbir al ilahy). Mari kita renungkan warna yang beragam, dari merah kehitam-hitaman hingga putih terang; dari yang sangat kuning hingga kuning kehitam-hitaman! Wahai manusia yang lupa diri, yang mabuk kepayang, yang menurutkan hawa nafsu dan yang disibukkan dengan pemuasan syahwat, lihatlah qudrah Allah SWT yang agung, yang menyelimuti kalian! Berpikirlah pada pengaturan-Nya (al tadbir), kerincian makhluk-Nya dan keajaiban ciptaan-Nya. Jika kita perhatikan dengan serius dan detail ayat-ayat Al Qur’an, kita akan mendapati bahwa Al Qur’an mengajak untuk berpikir secara menyeluruh dan sempurna. Allah berfirman:
“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (QS. Al-A’raaf [7]:185)
Pandangan secara menyeluruh sampai pada ufuk-ufuk alam, berupa ayat-ayat yang menunjukkan dan memberi al ibrah, dan terhadap diri berupa ayat-ayat yang menunjukkan dalil-dalil dan bukti-bukti. Semua itu, menerangkan kepada kita, bahwa itu adalah hak dari Rab langit dan bumi, Rab makhluk dan hamba. Ingatlah! Dia adalah Al Khaliq yang Maha Kuasa dan Dia adalah Tuhan Semesta Raya (Rab al ‘alamin).
Sesungguhnya, jika kita memperhatikan dengan mata bashirah terhadap alam yang menakjubkan ini dan kerajaan yang bertaburan lagi luas ini, sudah cukup untuk membuka hakikat manusia untuk menggapai kebenaran yang tersembunyi di sana. Membuat rekayasa baru dari apa yang ia saksikan dan mengambil ‘i’jaz yang menunjukkan atas Zat yang Maha Membuat lagi Maha Esa. Memperhatikan ciptaan-ciptaan Allah SWT akan mencengangkan hati, membingungkan pikiran dan menjadikan akal memiliki keinginan yang kuat untuk mengkaji tentang sumber semua ini, tentang iradah yang mewujudkan makhluk-makhluk di dalam sistem alam raya yang kita saksikan ini. Semua itu, akan menunjukkan qudrah Sang Pencipta dan ketetapan ciptaan-Nya. Allah SWT berfirman:
“Dialah yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah. Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang.” (QS. Al-Mulk [67]:3–5)
Seluruh yang ada dalam ayat-ayat tersebut adalah dalil tentang fenomena penjagaan dan pengaturan dalam kerajaan (langit dan bumi) serta qudrah yang tidak terbatas dengan batasan apa pun. Al Qur’an mengarahkan pandangan manusia kepada makhluk-makhluk (ciptaan Allah) di langit dengan sifat khusus dan seluruh makhluk yang lain dengan sifat umum. Allah SWT memalingkannya kepada makhluk-makhluk-Nya dan Dia dengan kesempurnaan-Nya, akan mengembalikan penglihatan kita dalam keadaan lemah, letih, terkalahkan, tercengang dan takjub. Segala sesuatu yang ada di alam tiada cacat, kurang dan kekacauan sedikitpun. Jika manusia melihatnya kembali, justru akan semakin menguatkannya, adakah ketidakseimbangan yang kita lihat? Apakah penglihatan kita menemukan celah, aib dan cacat? Jika kita mengulangi dua kali, bahkan seribu kali, kita akan menemukan seperti yang kita lihat pertama kali, [yaitu] kerincian dan ketetapan ciptaan-Nya, yang akan memancarkan perasaan ketenangan (al khusyu’) dan perasaan takut pada Al Khaliq (al rahbah).
Sesungguhnya, tidak ada tujuan lain dari tantangan Al Qur’an, kecuali untuk membangkitkan perhatian dan kesungguh-sungguhan agar kita memperhatikan langit dan seluruh ciptaan Allah SWT. Pandangan yang tajam dan teliti dan perenungan tadabbur inilah yang ingin dibangkitkan oleh Al Qur’an. Kebodohan yang menjadi kebiasaan akan lenyap dengan kebahagiaan memandang alam yang menakjubkan (al ‘ajaib), indah (al jamil) dan rinci (al daqiq). Orang yang mengetahui tabiat dan sistem (aturan) alam —seperti yang telah ditemukan dalam ilmu pengetahuan dengan berbagai sisinya— akan menemukan keajaiban-keajaiban. Keindahan dalam desain (al tashmim) alam seperti halnya dalam kesempurnaannya. Bahkan, keduanya (keindahan dan kesempurnaan) adalah dua ungkapan yang hakikatnya adalah satu. Kesempurnaan (al kamal) sampai pada derajat keindahan (al jamal). Dari sanalah Al Qur’an mengarahkan manusia agar memperhatikan keindahan langit setelah manusia memperhatikan kesempurnaannya.
“Sesungguhnya, Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang.” (QS. Al-Mulk [67]:5)
Semisal dengan kamal dan jamal ini, Allah SWT telah mengangkat langit tanpa pasak yang tampak oleh manusia. Maka, lihatlah langit di atas kita!
“Bagaimana Kami membangunnya dan menghiasinya. Dan, langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun.” (QS. Qaaf [50]:6)
“Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga di sana matahari yang bersinar dan bulan yang bercahaya (QS. Al-Furqaan [25]:61)
Dialah Allah SWT yang menjaga langit dan bumi agar keduanya tidak lenyap. Dia berfirman:
“Dan, matahari berjalan di orbitnya, demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan, telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga setelah (ia sampai pada manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin matahari mendapatkan bulan dan malam mendahului siang. Dan, masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yaasiin [36]:38-40)
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kalian mengetahui bilangan-bilangan tahun dan perhitungan waktu. Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui. Sesungguhnya, pada pertukaran malam dan siang dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Yunus [10]:5-6)
“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai pada waktu yang ditentukan. Dan, sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Luqman [31]:29-30)
“Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, [yaitu] orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi [seraya berkata]: ‘Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau.” (QS. Ali ‘Imran [3]:190–191)
Ayat-ayat Al Qur’an tersebut menunjukkan kerajaan langit dan bumi yang ada di tangan [kekuasaan] Allah SWT yang memiliki kerajaan dan mengatur kekuasaan-Nya ini sesuai dengan kehendak qudrah-Nya yang tidak terbatas.
Al Qur’an Al Karim telah menerangkan kepada kita sebagian dari hakikat alam yang sangat luas dan kompleks; dan penciptaan yang sangat rinci dan sangat rapi, sebagaimana yang telah diamati oleh para pakar ilmu pengetahuan terutama ilmuwan-ilmuwan yang menekuni astronomi. Hanya saja, kajian yang dilakukan secara terus menerus hingga saat ini, masih jauh dari penemuan (pemahaman) tentang akhir alam semesta atau yang disebut dengan hakikat “perubahan alam semesta” (al inqilab al kauny).
Yang menjadi pertanyaan, apakah alam langgeng atau akan sirna? Dan, kapan itu terjadi?
Tiada keraguan sedikitpun, bahwa Al Qur’an telah menjelaskan kepada kita bahwa al inqilab al kauny benar-benar akan terjadi. Bukan mustahil. Yang menjadi masalah adalah, kapan terjadinya? Tahun berapa? Inilah yang tidak satu pun manusia mampu menjawab, karena merupakan rahasia ilmu Allah SWT. Dialah yang Maha Mengetahui alam ghaib, tidak satu pun orang yang mengetahuinya.
Adapun tentang al inqilab al kauny, ayat berikut ini menunjukkan keberadaannya:
“Apabila matahari digulung. Apabila bintang-bintang berjatuhan. Apabila gunung-gunung dihancurkan. Apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak dipedulikan). Apabila binatang-binatang liar dikumpulkan. Apabila lautan dipanaskan. Apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh). Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?. Apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka. Apabila langit dilenyapkan. Apabila neraka jahanam dinyalakan. Dan, apabila surga didekatkan, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.” (QS. At-Takwiir [81]:1–14)
Al inqilab al kauny tampak dalam surat Al Takwiir dengan sangat mengerikan dan menakutkan. Matahari menjadi dingin dan padam nyalanya; bintang-bintang menjadi lenyap dan padam sinarnya; gunung-gunung meledak menjadi debu-debu yang beterbangan di angkasa dan bergerak tampak seperti fatamorgana; kandungan-kandungan wanita menjadi kosong dari berbagai jenis makhluk; binatang-binatang liar berlarian ke sana ke mari di jalan-jalan. Sungguh ketakutan bertumpuk-tumpuk dan makhluk dari berbagai arah bercampur baur (karena kebingungan). Air laut panas membara, sehingga tampak seperti kobaran api yang meleleh dan membakar segala sesuatu yang diterjangnya. Ruh-ruh yang sejenis sebagian bertemu dengan sebagian yang lain, berkelompok-kelompok dan berpasang-pasangan. Perempuan yang dikubur hidup secara biadab, itulah satu-satunya yang akan ditanya Al Khaliq. Pertanyaan khusus kepada dia, karena dia terdholimi secara nyata. Allah SWT bertanya kepadanya, “Siapakah yang melakukan terhadapmu wahai perempuan yang terkubur? Dan, karena dosa apakah mereka membunuhmu?” Tidakkah mereka mengetahui bahwa mereka telah melampaui batas, yang tidak boleh diterjang pada ciptaan-Nya? Tidakkah mereka memiliki standar kebenaran yang Allah SWT tetapkankan dalam ciptaan-Nya? Ambillah [siksa]. Sungguh, telah datang suatu hari yang akan meng-hisab atas apa saja yang mereka perbuat.
Ketika al inqilab al kauny ini, juga terdapat pembagian lembar (al shuhuf) amal perbuatan, sehingga tiada yang tersembunyi pada hari itu. Allah SWT menghilangkan “atap yang ditinggikan” di kubah langit. Neraka jahim dinyalakan, yang nyalanya sungguh sangat panas dengan bahan bakar manusia dan batu-batu. Surga (al jannah) didekatkan bagi orang-orang yang berbahagia, sehingga hiasan-hiasan mereka tampak seperti pengantin baru yang dipenuhi dengan kilauan-kilauan dan keindahan; dikelilingi dengan kebahagiaan dan suka cita. Semua itu akan terjadi pada hari inqilab, [yaitu] hari kiamat yang pasti akan datang dan tiada keraguan sedikit pun. Pada hari itu, manusia mengetahui apa saja yang telah dilakukan. Bekal-bekal yang telah mereka siapkan akan meringankan adzab mereka dan maksiat-maksiat yang mereka tumpuk akan dirasakan pahitnya, berupa kehinaan dan kesengsaraan.
Itulah sebagian ayat-ayat Al Qur’an yang memuat hakikat-hakikat mutlak di seputar alam, manusia dan kehidupan. Di dalamnya terdapat seruan-seruan yang bersih (al khalis) untuk iman yang benar (al shadiq) dengan berbagai misal, pelajaran (al ‘ibrah) dan nasehat-nasehat, sehingga manusia mendapatkan hidayah. Dan, khusus bagi orang-orang yang berlindung kepada selain Allah SWT atau menjadikan selain Allah SWT sebagai Tuhan, perumpamaan mereka adalah seperti rumah laba-laba:
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan, sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabuut [29]:41)
Dan, perumpamaan orang-orang yang tidak merasa lemah, yakni orang-orang yang berdoa kepada Allah SWT tetapi mereka lupa:
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu. Sesungguhnya, yang mereka seru selain Allah sekali-sekali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walau mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan, jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pula) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj [22]:73–74)
Apakah ada contoh lain yang lebih sederhana daripada contoh ini, [yaitu] Al Qur’an menunjukkan kelemahan makhluk dan kekuasaan Al Khaliq? Serangga tadi hanyalah seekor lalat, jika Allah SWT memberikan kekuasaan kepadanya untuk [menarik sesuatu] dari manusia yang merasa kuat dan kuasa, maka lalat akan merampas dari manusia dengan seluruh kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Marilah kita ingat! Bertakwalah kepada Tuhanmu. Ketahuilah bahwa semuanya akan kembali kepada-Nya, untuk dihisab baik yang lari (karena takut dan banyak dosa) atau yang datang (orang-orang mukmin, pnj); tiada yang tersembunyi dari ilmu Allah dalam menghisab manusia. Kebaikan dan keburukan seberat atom pun Allah SWT akan membalasnya.
Demikianlah kita mendapati Al Qur’an, yang telah diturunkan kepada Nabi yang buta huruf (al ummy) di kawasan yang juga ummy, memuat bukti-bukti akliyah (al hujjah al aqliyah) yang sangat baligh, bukti-bukti yang jelas dan rasional. Sehingga, para ilmuan (al ‘ulama) dan para ahli hikmah (al hukama’) menghabiskan umurnya hanya untuk sampai pada sebagian kandungannya saja. Mereka hanya mendapatkan setetes dari Al Qur’an dengan petunjuk Al Qur’an (Allah) yang telah menerangi akalnya. Mereka akan berkesimpulan bahwa hujjah Al Qur’an adalah ungkapan yang paling baligh; isyarat yang paling indah; penyerupaan (al tamsil) yang paling menawan. Sehingga, manusia biasa dapat menemukan sesuatu yang sesuai dengan fitrahnya, seperti halnya para ilmuwan dapat memahami dengan bimbingan pikiran dan dengan arahan akalnya. Inilah Al Qur’an, kitab Allah SWT yang kasih sayang kepada manusia. Kitab yang akan tetap lestari seiring perjalanan tahun dan masa. Ketika datang generasi-generasi baru, mereka akan menyelam sampai di kedalaman Al Qur’an dan melihat-lihat mutiaranya yang kemilauan di dasar lautnya yang jernih kebiruan. Al Qur’an menunjukkan temuan-temuan baru dan akan selalu selaras dengan kehidupan manusia. Maha benar Allah SWT yang berfirman:
“Dan, perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia. Dan, tidak yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (QS. Al-‘Ankabuut [29]:43)
Sesungguhnya, Al Qur’an Al Karim adalah kitab Allah SWT yang haq. Dan, Al Qur’an adalah haq dari Allah SWT.
“Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan selain Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Ali ‘Imran [3]:18)

[1] Kalam adalah lafadz yang tersusun sehingga memberikan makna yang dapat dipahami.
[2] Menurut sebagian ulama’ ahli nahwu, bahwa masdar adalah sumber derivat kata.
[3] Isim ‘alam adalah nama sesuatu, misalnya Yunus (nama seseorang), Makkah (nama kota) dan lain-lain.
[4] Kitab samawi artinya kitab langit, yakni kitab yang diturunkan oleh Allah.
[5] Kitab ardli artinya kitab bumi, yakni kitab buatan manusia.
1 I’rab adalah perubahan akhir kata karena adanya perubahan amil yang masuk pada kata tersebut. Amil tersebut kadang-kadang terlihat secara jelas dan kadang-kadang tersembunyi.
1 huruf jar adalah huruf yang mengakibatkan kata yang dimasukinya beri’rab jar. Seperti min (dari), ila (ke) dan lain-lain.
2 huruf ‘athaf adalah huruf untuk menghubungkan satu kata dengan kata yang lain. Seperti wawu (dan), tsumma (kemudian) dan lain-lain.