Oleh: K.H . Shiddiq Al Jawi
[Terjemahan dari Kitab Thariqul Iman, Dr. Samih Athif az Zain]
Salah satu tanda yang menunjukkan bahwa Al Qur’an merupakan wahyu adalah pemilihan nama yang berbeda-beda oleh Rab al ‘alamin. Orang Arab menyebutnya dengan “sesuatu yang global (jumlah) dan detail (tafsil).” Di antara nama-nama yang mengagumkan, yang di dalamnya terdapat rahasia penamaan (asrar al tasmiyah) dan terdapat rahasia sumber isytiqaq (derivat kata), yaitu: Al Kitab dan Al Qur’an.
Arti penamaan Al Kitab menunjukkan bahwa kalamullah dikumpulkan dalam bentuk tulisan (al suthur). Karena, tulisan (al kitabah) adalah kumpulan-kumpulan huruf, gambaran (al rasmu) lafadz dan susunan kalam[1]. Adapun penamaan Al Qur’an menunjukkan bahwa kalamullah tersimpan di dada. Karena, Al Qur’an adalah sumber bacaan. Dan, dalam membaca terdapat manfaat dan pengingatan (istidzkar).
Yang biasa digunakan dari dua penamaan tersebut, adalah lafadz Al Qur’an dengan bentuk masdar[2], sehingga Al Qur’an menjadi isim ‘alam[3] khusus untuk kitab yang mulia ini. Nama ini tidak pernah dikenal pada kitab-kitab lain, baik kitab samawi[4] maupun kitab ardli[5].
Salah satu keistimewaan Al Qur’an Al karim adalah kemampuannya untuk melemahkan (al i’jaz).
Realitas dan eksistensinya berbeda dengan yang lain, baik dari sisi
bahasa, makna dan kesan yang timbul dalam jiwa. Dengan
perbedaan-perbedaan ini tampak sekali i’jaznya. Realitas
terindra, misalnya, sebagian manusia mati dan sebagian yang lain hidup.
Jika yang mati dicampur dengan yang hidup, maka akan menimbulkan efek
yang nyata pada manusia, dilihat dari sisi perjalanan hidup mereka pada
seluruh aspek. Contoh yang lain adalah pohon, jika ada cabangnya yang
kering, akan tumbuh cabang lain. Jika cabang yang kering bercampur
dengan batang yang segar akan memberikan dampak pada pohon. Demikian
pula bahasa, setelah berjalannya waktu, silih bergantinya
kejadian-kejadian, dan adanya ciptaan dan temuan-temuan baru,
menyebabkan situasi dan kondisi berubah. Dan, hal ini menuntut adanya
penggunaan lafadz–lafadz baru (vocabulary: lafadz), setelah pembatalah lafadz–lafadz lama untuk menunjukkan nama dan makna tertentu. Pemberlakuan lafadz–lafadz
baru ada kalanya karena perubahan nama sesuatu atau adanya perubahan
makna secara total atau karena hilangnya keberadaan sesuatu, baik karena
tidak digunakan lagi atau karena tidak dibutuhkan lagi. Dengan
demikian, lafadz–lafadz yang sudah tidak digunakan lagi atau digunakan tetapi sangat jarang adalah sama dengan lafadz–lafadz mati atau menuju kematian. Sedangkan, lafadz–lafadz yang memang keliru, maka lafadz-lafadz tersebut sudah mati sejak lahirnya. Dengan keadaan ini menjadikan lafadz–lafadz
akhirnya tersembunyi, dan tersingkir seiring dengan berjalannya
kehidupan, lalu akhirnya berlahan-lahan menjadi baru lagi. Realitas Al
Qur’an berbeda dengan realitas perkataan manusia, karena lafadz-lafadz
al Qur’an menunjukkan makna-makna yang memiliki fakta yang unik dan Al Qur’an Al Karim
tertulis dengan abadi. Tidak ada seorang pun yang mampu untuk mengambil
satu lafadz dan menganggapnya sebagai bahasa yang mati. Tidak ada satu
lafadz pun yang ada dalam Al Qur’an yang ketinggalan jaman, kuno
dan tidak terpakai. Ketika Al Qur’an menunjukkan sesuatu, maka yang
ditunjukkan adalah segala sesuatu. Penunjukkannya di sini adalah pasti,
yaitu bahwa manusia dan jin (al ‘alamin) tidak akan mampu membuat yang semisal dengan Al Qur’an, meskipun mereka bekerja sama.
Contoh keabadian hidup lafadz–lafadz Al Qur’an, yaitu saling berhubungannya (al tamasuk) antara kesan lafadz pada diri dengan maknanya secara erat. Hubungan ini dapat ditemukan dalam satu lafadz, misalnya: (dlizaa=kezaliman) pada ayat 22 surat An Najm,
“yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil (dlizaa).” (QS. An-Najm [53]:22)
Lafadz tersebut sekarang jarang digunakan untuk menunjukkan makna kezaliman. Yang sekarang terkenal dan terpakai adalah lafadz al jairoh dan al dhalimah. Akan tetapi, jika dua lafadz tersebut diletakkan pada tempatnya lafadz dlizaa —meskipun artinya sama— dalam surat tersebut jelas tidak mungkin, karena susunan balaghahnya dan kesan dalam jiwa akan sangat menggelikan. Padahal, susunan balaghah dan kesan pada jiwa itulah yang menjadikan Al Qur’an al karim sangat unik (tidak ada yang menandingi). Tidak mungkin terdapat keunikan kesuali pada Al Qur’an.
Al Qur’an al karim bukan dari sisi manusia, maka Al Qur’an berasal dari Allah SWT:
“Kalau kiranya Al Qur’an bukan berasal dari sisi Allah, tentu mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’ [4]:82)
Pertentangan tidak akan terjadi di dalam al Qur’an,
semenjak diturunkannya hingga saat ini, dan sampai datangnya hari kiamat
nanti, yakni hari dimana Allah SWT mewarisi bumi dan orang-orang di
atasnya.
Dalil bahwa Al Qur’an dari sisi Allah SWT adalah dalil Aqli. Al Qur’an merupakan fakta terindra yang ada di tangan kita, bukan termasuk sesuatu yang ghaib. Jadi, tidak ada perdebatan tentang fakta dan keberadaannya.
Al Qur’an merupakan bahasa (al kalam) Arab, baik dalam lafadz–lafadznya
ataupun susunan kalimatnya. Orang Arab juga berbicara dengan bahasa
Arab. Terdapat syair dengan berbagai jenisnya, dan terdapat pula prosa (al natsar) dengan berbagai jenisnya. Dan, perkataan mereka juga ditulis dalam buku-buku dan dipindah (nuqil) dari satu orang ke orang lain. Orang-orang akhir (khalaf) menukil dari orang-orang terdahulu (salaf), dan sebagian lagi meriwayatkan dari yang lain.
Dengan menganalogkan dan membandingkan perkataan
orang arab dan bahasa Al Qur’an akan didapatkan beberapa kemungkinan.
Jika mode (al thiraz) bahasa Al Qur’an adalah mode bahasa Arab, maka
dapat dikatakan bahwa Al Qur’an diucapkan oleh orang Arab sangat fasih (al baligh); dan jika mode bahasa Al Qur’an bukan mode bahasa Arab, maka dapat dikatakan bahwa Al Qur’an diucapkan oleh orang non Arab (al ‘ajam).
Kemungkinan yang pertama, adakalanya orang Arab mampu membuat yang
semisal dengan Al Qur’an dan adakalanya tidak mampu. Jika orang-orang
Arab mampu membuat yang sama, maka Al Qur’an adalah perkataan manusia.
Akan tetapi, jika mereka tidak mampu membuat yang serupa, padahal Al
Qur’an adalah bahasa Arab dan mereka adalah orang Arab, maka Al Qur’an
bukan perkataan (buatan) manusia.
Orang yang memperhatikan Al Qur’an dan bahasa Arab, jika memiliki kemampuan untuk memahami dan melihat dengan detail (tadqiq)
akan menemukan bahwa Al Qur’an memiliki mode yang khas. Yaitu suatu
mode yang tidak pernah ada sebelumnya. Tidak ada perkataan yang
diucapkan dengan jalan (an Namth) seperti ini, baik sebelum atau sesudah turunnya Al Qur’an. Jika orang Arab tidak mampu berkata seperti perkataan (kalam) Al Qur’an, maka Al Qur’an adalah perkataan selain manusia. Telah ditetapkan dengan jalan mutawatir, yang qath’i dan
meyakinkan, bahwa orang-orang Arab tidak mampu membuat yang serupa
dengan Al Qur’an, meskipun mereka telah mencoba berulang-ulang,
mengadakan banyak percobaan dan penelitian, dan menyelenggarakan
seminar-seminar dan pertemuan-pertemuan dengan menghadirkan ahli balaqhah, ahli syair (an nadzmu) dan ahli prosa (an natsru). Mereka semua tidak mampu, padahal Al Qur’an menentangnya dengan firman-Nya:
“Dan, jika kamu [tetap] dalam keraguan tentang Al
Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu
sarat [saja] yang semisal Al Qur’an dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah [2]:23)
Dan, firman-Nya:
“Atau [patutkah] mereka mengatakan: ‘Muhammad
membuat-buatnya’, katakanlah: ‘kalau benar yang kamu katakan itu, maka
cobalah datangkan sebuah surat semisalnya dan panggilah [untuk
membuatnya] selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Yunus [10]:38)
Juga, firman-Nya:
“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah
membuat-buat Al Qur’an”, Katakanlah: “[kalau demikian], maka
datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat menyamainya, dan panggillah
orang-orang yang kamu sanggup [memanggilnya] selain Allah, jika kamu
memang orang-orang yang benar.” (QS. Huud [11]:13)
Tantangan telah “diteriakkan” oleh Allah SWT, dan
manusia tidak berdaya di hadapan tantangan ini. Mereka tidak mampu
membuat yang serupa. Jadi, Al Qur’an bukan perkataan orang Arab, karena
mereka tidak mampu membuat yang serupa dengan Al Qur’an. Lantas, dari
mana datangnya Al Qur’an? Al Qur’an dari sisi Allah SWT. Dalil aqli telah menetapkan secara pasti yang demikian itu.
Al Qur’an adalah kalamullah. Mustahil ada
orang nonArab mampu membuat yang serupa dengan Al Qur’an, karena Al
Qur’an berbahasa Arab. Orang Arab yang bisa berbahasa Arab saja tidak
mampu membuat, apalagi orang nonArab yang tidak bisa berbahasa arab.
Juga, tidak dapat dikatakan bahwa Al Qur’an merupakan perkataan Muhammad
SAW, karena Muhammad SAW juga kebangsaan Arab (al Araby) dan
berasal dari Arab. Telah ditetapkan bahwa “jenis” Arab tidak mampu, maka
beliau juga tidak mampu, karena beliau adalah individu dari “jenis”
yang sama. Ditambah lagi, suatu ungkapan (al ta’bir), baik dari sisi lafadz-lafadz
maupun susunannya, pada setiap orang, biasanya menurut apa yang dikenal
pada masanya atau diriwayatkan dari orang-orang sebelumnya. Ketika ada
ungkapan baru, berarti ada makna atau khayalan baru. Akan tetapi, tetap
menggunakan lafadz-lafadz dan ungkapan-ungkapan yang dikenal atau
diriwayatkan, [yakni] dengan apa yang terjangkau oleh indra manusia.
Adalah mustahil seseorang berkata atau mengungkapkan sesuatu yang tidak
didahului dengan pengindraan realita. Orang yang memperhatikan mode Al
Qur’an, akan mendapati bahwa pengungkapan Al Qur’an, baik dari sisi lafadz ataupun susunan-susunan kalimat (al jumal),
tidak dikenal pada masa Rasul Muhammad SAW, juga tidak dikenal pada
masa sebelumnya. Mustahil secara akliyah bagi beliau seperti halnya
manusia yang lain, meskipun seorang Nabi dan Rasul, untuk mengatakan
sesuatu yang tidak didahului pengindraan. Oleh karena itu, mustahil
bahwa mode pengungkapan Al Qur’an, baih dari sisi lafadz atau susunan-susunan kalimat, berasal dari Muhammad SAW. Jadi, Al Qur’an adalah Kalamullah. Allah SWT telah menurunkan kepada Muhammad SAW dari sisi-Nya. Yang demikian itu, telah ditetapkan dengan dalil akliyah.
Turunnya Al Qur’an ditetapkan dengan bukti yang sama.
Selama manusia tidak mampu untuk membuat yang serupa dengan Al Qur’an,
maka selama itu i’jaznya ditetapkan dengan indra dan fakta.
faktanya Al Qur’an ada, dan selalu menantang manusia dan jin untuk
membuat yang serupa, tetapi manusia dan jin tidak sanggup melakukannya.
Jadi, kemukjizatan Al Qur’an tetap untuk selamanya.
Jadi, kemungkinan Al Qur’an hanya ada tiga, yaitu
dari orang Arab, dari Muhammad atau dari Allah, dan tidak mungkin
berasal selain dari tiga tersebut. Jika Al Qur’an berasal dari orang
Arab, kekeliruannya (al bathil) sangat jelas, dan hal itu telah
ditetapkan dengan dalil akliyah. Sekarang tinggal dua kemungkinan, yaitu
dari Muhammad SAW atau dari Allah SWT. Muhammad SAW adalah orang Arab
dan ia tidak mungkin mampu keluar dari masanya secara menyeluruh,
meskipun sangat jenius. Jika orang Arab tidak mampu, maka Muhammad SAW
juga tidak mampu, karena beliau adalah salah satu dari mereka.
Diriwayatkan dari beliau SAW dengan jalan mutawatir dalam sabdanya:
“Barang siapa berbohong atasku (atas namaku) secara sengaja, hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.”
Jika dibandingkan antara perkataan Muhammad SAW
dengan Al Qur’an, maka tidak tampak ada kemiripan sedikit pun, padahal
perkataan Muhammad SAW adalah kalam yang paling unggul (al jawami’). Hal
ini menunjukkan, bahwa Al Qur’an bukan kalam Muhammad SAW.
Ditambah lagi, seluruh ahli syair, para penulis, para
filsuf, dan para pemikir dunia, pasti memiliki jalan, manhaj dan cara
(uslub) tertentu di dalam pemikiran dan pengungkapannya. Biasanya, pada
awalnya, mereka memulai dengan lemah kemudian meningkat sedikit demi
sedikit menuju puncak kemampuan yang dicapainya. Jadi, hasil yang
dicapai oleh mereka tidak langsung tiba-tiba, tetapi pasti di dalamnya
ada lemah dan kuat, dan pasti didalam perjalannya ada pemikiran dan
pengungkapan yang lemah. Kita menjumpai Al Qur’an pada awal turunnya
adalah ayat:
“Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq [96]:1)
Dan, ayat yang terakhir turun adalah:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Kucukupkan daripadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi
Islam menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maa-idah [5]:3)
Dua ayat di atas berada pada puncak balaghah dan
kefasihan, ketinggian pemikiran serta kekuatan ungkapan, sehingga kita
tidak menemukan di dalmnya ada satu ungkapan yang lebih lemah dan yang
satu lagi lebih tinggi. Ungkapannya adalah satu bagian (al qit’ah).
Seluruh uslubnya, baik global atau rinci, seperti satu jumlah. Apakah
setelah semua itu terdapat dalil lagi yang lebih besar dan lebih jauh,
bahwa Al Qur’an berada di atas perkataan manusia yang hanya mengantarkan
kepada perbedaan ungkapan, bangunannya (al mabni) dan maknanya? Selama
tidak ada dalil lagi maka Al Qur’an adalah Kalamnya Rab al basar dan Rab
al ‘alamin. Al Qur’an menbangun seruannya (al da’wah) di atas asas
fitrah, kemudian berbicara kepada manusia sesuai dengan pemikiran
(kecerdasan) manusia. Sebab, manusia ada yang berilmu (al ‘alim) dan ada
yang bodoh (al jahil), ada yang cerdas dan ada yang tidak. Semuanya
diseru untuk beriman kepada Allah SWT secara akliyah dan dengan metode
Al Qur’an. Oleh karena itu, seruan Al Qur’an kepada semua manusia sesuai
dengan pemahaman dan kecerdasan manusia.
Ketika ayat-ayat Al Qur’an diturunkan kepada
Rasulullah SAW dan beliau menyampaikannya kepada manusia, maka
orang-orang Islam beriman dengannya dan menghafalkan di dadanya. Tidak
ada satu pun di antara mereka, juga orang-orang musyrik, melihat adanya
pertentangan yang membutuhkan kajian secara mendetail (al tadqiq).
Mereka memahami seluruh ayat Al Qur’an sebagaimana adanya, sifat dan
ketetapannya. Adapun orang-orang mukmin, kondisi dan jiwa mereka sangat
selaras dengan ayat-ayat Al Qur’an. Mereka mengimani, membenarkan dan
memahaminya dengan pemahaman yang baik. Mereka mencukupkan dengan
pemahaman ini, mengangapnya sebagai sifat fakta dan ketetapan hakikat.
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak
mengetahui [yang kamu lahirkan dan rahasiakan]. Dan, Dia Maha Halus lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk [67]:14)
Adapun orang-orang musyrik memahami ayat-ayat dan
menerima keselarasan dengan realitas beserta apa yang disifati dan
ditetapkan, tetapi jiwa mereka membangkang dan menentang iman. Hal itu,
dikarenakan suatu sebab dan tujuan yang berbeda-beda. Sehingga, diantara
mereka ada yang mati dalam keadaan kufur dan syirik; dan ada yang
mendapat izin Allah SWT dengan pertolongan Islam dan masuk ke
pangkuan-Nya.
Al i’jaz adalah lemahnya kemampuan manusia dalam
upaya menghadapi mukjizat, dan kelemahan ini berlangsung secara terus
menerus sepanjang zaman. Dikarenakan kelemahan tersebut, seolah-olah
seluruh alam ini adalah satu orang. Tidak ada manusia yang tidak
terbatas, ia hanya dapat menjangkau apa yang dapat dijangkau.
Tulisan ilmuwan tidak dapat menyamai Al Qur’an dalam
ketinggian kehormatan dan kedudukan, kedalaman pandangannya,
kesempurnaan susunannya, kekuatan hujjahnya, keluasan ungkapan dan kekokohan rangkaiannya.
Seakan-akan Al Qur’an adalah satu bagian (al qit’ah), berbeda dengan perkataan-perkataan (tulisan) seseorang yang paling fasih (balig)
sekalipun. Ungkapan seseorang pasti mengandung perbedaan dan
pertentangan dalam tata cara menghadirkannya. Kadang-kadang tinggi di
satu tempat, tetapi rendah di tempat lain. Di dalamnya, juga terdapat
kelemahan tabiat dan tipuan-tipuan jiwa. Dan, kadang-kadang pada satu
sisi membosankan, sementara pada sisi yang lain menyenangkan.
Al Qur’an telah menantang para pakar dengan ungkapan
yang mendobrak dan menciutkan nyali; dengan dialek yang kuat dan tinggi
agar mereka mendatangkan yang semisal dengan Al Qur’an atau bahkan hanya
satu surat dari Al Qur’an, tetapi mereka tidak mampu menghadapi
tantangan itu. Sebenarnya, mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan
ini jika mereka mampu, karena mereka sangat berambisi untuk mendustakan
dan menentangnya dengan seluruh kemampuan yang dimilikinya dan dengan
berbagai celah yang ada. Kelemahan mereka yang rendah ini dihadapankan
tantangan yang lantang adalah karena kemampuan [Al Qur’an] yang tinggi.
Kebisuan mereka yang hina setelah mereka dikejutkan dengan tantangan,
adalah karena pengaruh kalam yang mulia ini.
Al Qur’an adalah lafadz yang diturunkan kepada Sayyidina Muhammad SAW dengan makna-makna yang ditunjukinya. Makna saja tidak dinamakan Al Qur’an. Lafadz tanpa makna adalah kemustahilan, karena pada asalnya lafadz dibuat adalah untuk menunjukkan makna tertentu. Karena itu, Allah SWT mensifati Al Qur’an pada lafadznya. Tentang hal itu, Allah berfirman “innahu ‘arabiyyun” pada firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan bahasa Arab.” (QS. Yusuf [12]:2)
Juga, firman-Nya:
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab.” (QS Fushshilat [41]:3)
Arabiyah adalah sifat terhadap lafadz Al Qur’an bukan maknanya, karena makna Al Qur’an adalah makna-makna kemanusiaan (al ma’aani al insaniyah). Al Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia, bukan hanya orang Arab saja.
Tidak boleh dikatakan, ada sebagian makna Al Qur’an
yang ditulis dengan bahasa selain bahasa Arab. Bahasa Arab di dalam Al
Qur’an adalah suatu kepastian. Dan, Al Qur’an itu hanya bahasa Arab lafadznya
saja. Al Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw, yang bukan hanya
ditunjukkan pada orang-orang Arab yang hidup pada zaman rasul saja, atau
hanya orang-orang Arab secara umum. Akan tetapi, Al Qur’an adalah
mukjizat bagi seluruh manusia, dan tidak ada perbedaan suku yang satu
dengan yang lain. Sebab, seruan (al khitab) Al Qur’an ditunjukkan kepada seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman:
“Dan, Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia.” (QS. Saba’ [34]:28)
Dan, firman-Nya:
“Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semuanya.” (QS. Al-A’raaf [7]:158)
Ayat-ayat yang menantang manusia adalah umum. Allah SWT berfirman:
“Dan, panggilah siapa saja yang dapat kalian panggil [untuk membuat Al Qur’an] selain Allah.” (QS. Yunus [10]:38)
Ayat-ayat di atas mencakup seluruh manusia, karena Al
Qur’an menginformasikan ketidakmampuan membuat yang serupa kepada jin
dan manusia seluruhnya. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al Qur’an, niscaya mereka
tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya.” (QS. Al-Israa’ [17]:88)
Orang Arab dan seluruh manusia tidak mampu membuat yang serupa dengan Al Qur’an.
Ketika orang Arab mendengar Al Qur’an, maka mereka langsung menghampirinya yang seakan tersihir oleh balaghahnya. Walid Ibn Al Mughirah berkata, setelah mendengar Nabi saw membaca Al Qur’an, ”Demi
Allah, tiada satu pun di antara kalian yang paling mengetahui tentang
syair daripada aku, baik rajaz maupun qasidahnya. Demi Allah, apa yang
dikatakan Muhammad tidak menyerupai syair sedikitpun. Demi Allah, apa
yang dikatakan Muhammad enak didengar dan indah menawan, berdaun di
bagian atasnya dan subur di bagian bawahnya. Sesungguhnya yang dikatakan
Muhammad adalah sangat tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi
darinya.” Padahal Al Walid bukan orang yang beriman kepada Allah SWT dan Muhammad saw. I’jaz
tersebut semata-mata datang dari Al Qur’an, orang yang mendengarnya
atau akan mendengarnya hingga hari kiamat, akan merasakan ketakjuban
yang tiada tara dan akan dibuat tercengang karena kekuatan kesan dan balaghahnya, meskipun hanya sekedar mendengarkannya.
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan
pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya
pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci
Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar [39]:67)
“Dan, jika kamu khawatir akan (terjadinya)
pengkhianatan dari satu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu
kepada mereka dengan cara yang jujur.” (QS. Al-Anfal [8]:58)
“Hai manusia, bertakwalah kepada tuhan kalian,
sesungguhnya kegoncangan hari kiamat adalah suatu kejadian yang sangat
besar (dahsyat), [ingatlah] pada hari [ketika] kalian melihat
kegoncangannya, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak
yang disusuinya dan gugurlah semua kandungan wanita yang hamil, dan
kalian lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka
tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah itu sangat keras.” (QS. Al-Hajj [22]:1-2)
Demikianlah, ayat-ayat Al Qur’an dibaca dengan lafadz-lafadz, uslub-uslub, dan tujuan-tujuannya telah menenggelamkan dan menguasai perasaan manusia. I’jaznya Al Qur’an paling tampak terutama pada kefasihan, balaghah dan ketinggian derajatnya, sampai pada derajat yang mengagumkan. Uslub Al Qur’an yang melemahkan (al mu’jiz)
tampak pada kejelasan, kekuatan dan keindahan yang mustahil dapat
dicapai oleh manusia. Al Qur’an memiliki mode dan untaian yang sangat
unik dan sangat jelas. Pada ayat:
“Dan, Allah akan menghinakan mereka dan menolong kalian terhadap mereka, serta menegakkan hati orang-orang yang beriman.” (QS. At-taubah [9]:14)
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan [yang sempurna], sehingga kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali ‘Imran [3]:92)
Jika dua ayat di atas dinadhamkan, maka akan menjadi dua bait syair. Akan tetapi, dua ayat tadi bukan syair, tapi jenis prosa (al nasar) yang unik (al farid). Pada waktu lain, Al Qur’an merupakan natsar, dan kita dapati dalam ayat:
“Demi langit dan yang datang pada malam hari. Tahukah
kamu apa yang datang pada malam hari itu? [yaitu] bintang yang
cahayanya menembus. Tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada
penjaganya. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar yang keluar dari
antara tulang sulbi dan tulang taroib (dada).” (QS. Ath-Thaariq [86]:1-7)
Ayat di atas adalah natsar yang jauh sekali dari syair.
“Dan, kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan
untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya (berhakim selain kepada Nabi Muhammad SAW) datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohon ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’ [4]:64)
Allah SWT memanjangkan paragraf (al faqrah) dan nafas pada natsar di atas. Kemudian, kita mendapati dalam firman Allah SWT:
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan
apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam
apabila menutupinya.” (QS. Asy-Syams [91]:1–4)
Allah SWT memendekkan paragraf dan nafas pada natsar tersebut. Kedua ayat di atas merupakan natsar (yang terbentuk) dalam paragraf-paragraf. Sementara, pada keadaan yang lain ditemukan dalam bentuk natsar mursal, dalam firman-Nya:
“Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh
orang-orang yang bersegera [memperlihatkan] kekafirannya, yaitu di
antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah
beriman”, padahal hati mereka belum beriman; dan juga di antara
orang-orang yahudi. [Orang-orang yahudi itu] bohong dan amat suka
mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang
kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan [Taurat] dari
tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: “jika diberikan ini [yang sudah
dirubah-rubah oleh mereka] kepadamu, maka terimalah dan jika kamu diberi
yang bukan ini, maka hati-hatilah.” Barang siapa yang Allah menghendaki
kesesatannya, maka sekali-sekali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu
pun [yang datang] dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah
tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka memperoleh kehinaan di dunia
dan di akhirat, dan memperoleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maa-idah [5]:41)
Pada keadaan yang lain ditemukan dalam natsar musajja’, [yaitu] dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut).
Bangunlah, lalu berikan peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah, dan
pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah dan janganlah
kamu memberi [dengan maksud memperoleh balasan] yang lebih banyak. Dan,
untuk [memenuhi perintah] Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al-Muddatstsir [74]:1–7)
Yang sama dengan wazannya (keserupaan dalam sajak) dengan firman Allah SWT:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur…” (QS. Al-Takaatsur [102]:1–2)
Allah SWT berfirman:
“Binasalah manusia; alangkah amat sangat
kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes nutfah
(mani), Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan
jalannya. Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.
Kemudian bila Dia menghendaki Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali
jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah
kepadanya.” (QS. ‘Abasa [80]:17–23)
Allah SWT telah memanjangkannya ketika memikat
(manusia) dengan sajak-sajak tertentu. Allah SWT telah berpindah dari
sajak tadi ke sajak (al saj’ah) lain, misalnya:
“Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu [datangnya hari yang sulit], bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (QS. Al-Muddatstsir [74]:8–10)
Kemudian, Allah SWT berpindah kepada ayat sesudahnya secara langsung dan berfirman:
“Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku
telah menciptakannya sendirian. Dan, Aku jadikan baginya harta benda
yang banyak, dan anak-anak selalu bersama dia, dan Kulapangkan baginya
[rezki dan kekuasaan] dengan selapang-lapangnya, kemudian dia ingin
sekali supaya Aku menambahnya. Sekali-kali tidak [akan Aku tambah],
karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat kami. Aku akan membebaninya
mendaki pendakian yang memayahkan.” (QS. Al-Muddatstsir [74]:11–17)
Dan, setelah itu Allah SWT berpindah ke lainnya secara langsung. Dia berfirman:
“Sesungguhnya, dia telah memikirkan dan menetapkan
[apa yang ditetapkan], maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan?
Kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan?” (QS. Al-Muddatstsir [74]:18–20)
Demikianlah, jika kita mengikuti seluruh Al Qur’an akan mendapati bahwa Al Qur’an mengikuti uslub-uslub tertentu dalam bahasa Arab yang berbeda dengan syair dan natsar; tetapi tidak menyerupai perkataan orang-orang Arab dan perkataan-perkataan seluruh manusia. Kita akan menemukan uslub yang jelas, kuat dan indah yang mengantarkan pada makna-makna dengan tata cara (al kaifiyah)
pengungkapan tertentu dan menggambarkannya dengan penggambaran yang
teramat rinci. Ketika kita mendapati makna yang sangat halus, semisal
ayat:
“Sesungguhnya, orang-orang yang bertaqwa
mendapatkan kemenangan, yaitu kebun-kebun dan buah anggur dan
gadis-gadis remaja yang sebaya dan gelas yang penuh [berisi minuman].” (QS. An-Naba’ [78]:31–34)
Ayat tersebut datang dengan lafadz-lafadz yang halus, cantik dan lembut. Dan, ketika makna [yang disampaikan] tentang sesuatu yang keras (siksa, misalnya), semisal ayat:
“Sesungguhnya, neraka jahanam [padanya] ada
tempat-tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang
yang melampaui batas, mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya,
mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak [pula mendapat
minuman] selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang
setimpal.” (QS. An-Naba’ [78]:21–26)
Ayat tersebut datang dengan lafadz-lafadz yang berat dan rangkaian kata yang keras. Ketika makna yang dimaksud untuk mengingkari sesuatu, maka ayat ini datang dengan lafadz yang diingkari oleh makna ini. Allah SWT berfirman:
“Apakah [patut] untuk kamu [anak] laki-laki dan
untuk Allah [anak] perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian
yang tidak adil.” (QS. An-Najm [53]:21–22)
Dan, firman-Nya:
“Dan, lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman [31]:19)
Penghadiran makna selalu dibarengi dengan tata cara pengungkapan yang menggambarka makna tersebut, dengan menjaga lafadz-lafadz
yang memiliki bunyi yang menggetarkan perasaan. Oleh karena itu, orang
yang mendengarkan Al Qur’an dan memahaminya, akan tertunduk (al khusu’) karena kedalaman makna dan ungkapan-ungkapan yang sangat fasih (baligh). Sehingga, seakan-akan sebagian pemikir Arab yang pakar balaghah bersujud [ketika mendengarnya], meskipun mereka kufur dan menentang ajarannya.
Orang yang menelaah secara rinci terhadap lafadz Al Qur’an Al Karim
dan rangkaian-rangkaian kata-katanya akan menemukan, bahwa ketika Allah
meletakkan huruf-huruf, [Allah] mengatur suara yang timbul ketika
keluar dari tempat keluarnya huruf-huruf tersebut (mahraj). Huruf yang berdekatan mahrajnya, diletakkan berdekatan di dalam kata dan rangkaian kata. Apabila mahrajnya
berjauhan, maka akan dipisah dengan huruf yang akan menghilangkan
kesunyian (karena nadanya tidak bagus, pnj), dan menghadirkan huruf yang
menjadikan mahraj tadi terasa ringan di pendengaran. Berulang-ulang sebagaimana lazimnya irama musik.
Al Qur’an tidak mengatakan dengan ungkapan “Kal baa’iq al Mutadaffiq” (hujan deras), tetapi diungkapkan dengan lafadz “Kasyayyibin”. Al Qur’an tidak mengatakan dengan lafadz “Hu’khu’” (kain sutra), tetapi mengatakan dengan lafadz “sundusin”. Tidak dengan lafadz “Kalbu’aaq” (awan yang mengandung air), tetapi dengan lafadz “Kamuznin”.
Apabila suatu hal menuntut penggunaan huruf-huruf yang berjauhan,
tetapi maknanya sesuai, maka tidak digunakan huruf-huruf yang lain,
seperti kata “dlizaa”. Tidak digunakan lafadz “dzaalimah” atau “jaairah”,
meskipun maknanya sama, yaitu kedzaliman. Ditambah lagi dengan
penggunaan huruf-huruf, karena huruf-huruf yang digunakan dihadirkan
dalam ayat-ayat dan secara jelas pengulangannya. Misalnya: dalam ayat
kursi, huruf lam diulang sebanyak 23 kali dengan bentuk yang
nyaman di telinga, sehingga menajamkan dan ada nilai tambah bagi
pendengaran. Demikianlah, kita menemukan bahwa Al Qur’an memiliki mode
yang khas dan kita temukan setiap makna datang dengan lafadz-lafadz yang sesuai. Dan, setiap lafadz sesuai untaian lafadz dan sesuai dengan maknanya. Dan, kita tidak menemukan adanya perbedaan [pola-pola tersebut] di ayat-ayat yang lain.
I’jaz Al Qur’an sangat jelas pada uslubnya, [yakni] pola ungkapan khas yang tidak sama dengan perkataan (kalam) manusia. Perkataan manusia tidak akan mampu menyamai Al Qur’an dari sisi “penancapan makna” pada lafadz dan rangkaian lafadz; dan dari sisi letak lafadz bagi orang yang memahami balaghah
dan mendalami makna-maknanya. Sehingga, orang-orang tersebut tertunduk
dan hampir-hampir bersujud karenanya. Sedangkan, orang-orang yang tidak
memahami [maknanya], suara-suara rangkaian lafadz tersebut akan
memikatnya dan membuat ia tertunduk, meskipun tidak memahami maknanya.
Oleh karena itu, Al Qur’an adalah mukjizat dan akan selalu menjadi
mukjizat hingga hari kiamat.
Al Qur’an Al Karim; Turunnya, Pengumpulannya dan Penulisannya
Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara terpisah-pisah (al mufarraq)
selama waktu dua puluh tiga tahun, dan turun dalam situasi yang
berbeda-beda. Kadang turun secara berturut-turut, dan kadang terlambat
(dalam waktu yang lama, pnj).
Al Qur’an tidak diturunkan dalam satu waktu (al daf’ah al wahidah), tetapi berangsur-angsur (al munajjam). Hikmahnya, Allah SWT sebutkan dalam Al Qur’an:
“Berkatalah orang-orang kafir: ‘Mengapa Al Qur’an
tidak diturunkan kepadanya satu kali saja?’ Demikianlah, supaya Kami
perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur
dan benar).” (QS. Al-Furqaan [25]:32)
Maknanya, Allah SWT menurunkannya secara
terpisah-pisah agar bisa memperkuat hatimu, sehingga kamu tersadarkan
dan menghafalnya. Allah SWT berfirman:
“Dan, Al Qur’an itu telah Kami turunkan secara
berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia
dan Kami menurunkan bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’ [17]:106)
Maknanya, Kami turunkan Al Qur’an bagian demi bagian
secara berlahan-lahan, menancap dan membekas, yakni sesuai dengan
kondisi [kejadian-kejadian].
Al Qur’an turun kepada Rasulullah SAW, kemudian
beliau menyuruh untuk menghafalkan di dada dan menulisnya di lembaran
kulit dan lembaran kertas, di tulang-tulang, pelepah kurma dan
lempengan-lempengan batu. Beliau berkata, “Ketika ayat-ayat atau
sebagian ayat turun, tulislah ayat ini di surat ini, setelah ayat ini.”
Kemudian para sahabat menulisnya dan meletakkan pada surat [yang
ditunjukkan Rasul tersebut].
Pengakuan (al iqrar) Rasul dan ijma’
sahabat terhadap penulisan tersebut, serta fakta adanya perbedaan dalam
penulisan kata pada surat-surat yang berlainan, padahal lafadz dan maknanya satu, semua itu merupakan dalil yang jelas, bahwa pengumpulan dan pembukuan mushaf bersifat paten (tauqifi) dari Allah SWT.
“Sesungguhnya, atas tanggungan kamilah mengumpulkannya dan [membuatmu pandai] membacanya.” (QS. Al-Qiyaamah [75]:17)
“Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]:9)
Penulisan Al Qur’an Al Karim
Penulisan Al Qur’an merupakan hak paten (tauqifi) dari Allah SWT, dan kita tidak boleh berbeda dengan itu. Dalilnya adalah bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sekretaris (al kuttab)
wahyu, dan mereka menulis Al Qur’an dengan bentuk tulisan yang seperti
itu dan Rasul mengakui tulisan mereka. Bahkan, ketika Rasul kembali ke
Rahmatullah Al Qur’an dengan bentuk tulisan [sekretarisnya] tidak
mengalami perubahan dan pergantian. Tidak ada riwayat satu pun yang
berbeda dengan penulisan seperti itu. Pada masa khalifah Usman bin Affan
ra. Lembaran-lembaran yang ada pada Hafshah, Ummul mukminin,
ditulis kembali. Khalifah ke tiga tersebut kemudian memerintahkan untuk
membakar seluruh lembaran selainnya, dan para sahabat ra. mengakui
semua itu.
Oleh karena, itu tidak boleh ditanyakan, mengapa kata ( ) di dalam Al Qur’an ditulis dengan wawu dan alief ( ) dan tidak ditulis dengan ya’ dan alief. Tidak boleh ditanyakan, mengapa kata ( ) dalam surat Al Baqarah menggunakan sin dan kata ( ) dalam surat Al A’raf menggunakan shod, padahal artinya sama. Tidak boleh ditanyakan, apa sebabnya ada tambahan alief pada kata ( ) bukannya ( ); dan apa sebabnya ada tambahan alief pada kata ( saau ) dalam surat Al Haj, sedangkan dalam surat Saba’ alief dihilangkan menjadi ( ); danapa sebabnya ada tambahan alief pada kata ( utuwan ) dalam surat Saba’ sedangkan dalam surat Al Furqan alief dihilangkan menjadi ( ); dan apa sebabnya dalam surat Al Baqarah ada tambahan alief pada kata ( ), sedangkan pada kata ( bau ), ( jau ), ( fau ) dihilangkan; dan mengapa ada tambahan alief pada kata ( ) sedangkan dalam surat Al Nisaa’ dihilangkan menjadi ( ).
Tidak dapat ditanyakan, mengapa dibuang sebagian
huruf-huruf dari kata yang serupa, sementara yang lain tidak. Seperti
terbuangnya alief pada kata ( ) dalam surat Al Zukhruf dan Yusuf, sementara dalam surat-surat yang lain tetap ada. Menetapkan wawu sesudah alief pada kata ( ) dalam surat Fushshilat,
sementara pada surat-surat yang lain dibuang. Perbedaan dalam
penulisan-penulisan kata-kata yang sama pada surat-surat yang berlainan,
padahal makna dan lafadz tidak berbeda, merupakan dalil bahwa penulisan adalah sima’i (sesuai dengan yang didengar) bukan masalah ijtihad dan pemahaman. Segala sesuatu yang dikembalikan pada sima’i adalah paten (tauqifi). Tidak didengar adanya perbedaan tulisan mushaf (rasmu al mushhaf) dengan tulisan mushaf
ini, seperti halnya tidak didengar adanya perbedaan dalam urutan-urutan
ayat. Ini semua menunjukkan bahwa penulisan Al Qur’an adalah paten dari
Allah SWT. Pengakuan Rasul dan ijma’ sahabat atas tulisan ini dan fakta
adanya perbedaan tulisan kata pada surat-surat yang berbeda, padahal lafadz dan maknanya satu, semua itu merupakan dalil yang gamblang bahwa penulisan mushaf adalah tauqifi, yang wajib satu-satunya untuk diikuti dan haram menulis mushaf selain dengan tulisan ini.
Tulisan tersebut tidak boleh diubah secara mutlak. Tidak dapat dikatakan bahwa sesungguhnya Rasul SAW adalah ummi, maka penetapannya (al taqrir) tidak absah. Tidak dapat dikatakan demikian, karena Rasul memiliki juru tulis yang mengetahui tulisan (al khuthuth), mereka suatu waktu mensifatkan kepada beliau dan kadang-kadang mendiskusikan tentang penulisan sebagian huruf Al Qur’an Al Karim. Terlebih lagi, beliau mengetahui bentuk-bentuk huruf seperti yang termaktub dalam beberapa hadits.
Dan, realitasnya penulisan surat-surat yang akan dikirimkan kepada para
raja (penguasa), ditulis dengan tulisan biasa dan tidak seperti tulisan
Al Qur’an ketika diturunkan, padahal yang mendiktekan adalah sama
[yaitu Rasul] dan penulisan juga sama yaitu para juru tulis itu.
Kewajiban mengikuti Khot Usmani (al rasmu al usmany) bagi Al Qur’an terbatas hanya tulisan mushaf
saja. Adapun tulisan Al Qur’an yang dipersaksikan atau tulisan di papan
tulis untuk belajar dan lain-lain yang ditulis selain lembaran adalah
boleh. Sebab, pengakuan (al iqrar) Rasul SAW dan ijma’ sahabat terbatas hanya pada mushaf dan tidak pada yang lain. Yang lain tidak dapat dianalogikan (al qiyas) dengan itu, karena hal ini merupakan perkara yang paten dari Allah SWT.
Bacaan dengan “Ahruf Sab’ah” (tujuh huruf)
“Sesungguhnya Al Qur’an ini diturunkan dengan tujuh huruf (sab’atu ahruf), bacalah yang mudah di antara tujuh itu.” Hadits Syarif.
Lafadz-lafadz Al Qur’an tidak keluar dari tujuh huruf ini, meskipun cara mendatangkan (aada’) dan bacaannya (qiro’at) bermacam-macam. Tujuh huruf tersebut, yaitu:
1. Perbedaan pada
i’rab1. perbedaan ini adakalanya mengubah makna dan adakalanya tidak.
Seperti firman AllahSWT:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya.” (QS. Al- Baqarah [2]:37)
Ayat tersebut kadang-kadang dibaca: (arab)
“Kemudian kalimat itu menemui Adam dari Tuhannya.” (QS. Al- Baqarah [2]:37)
Dan, yang tidak mengubah makna seperti firman-Nya:
“Dan, janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan.” (QS. Al- Baqarah [2]:282)
lafadz “wala yudlaarra“ bisa dibaca dengan “wala yudlaarru”
2. Perbedaan huruf. Perbedaan ini adakalanya dengan
perubahan makna tetapi bentuknya tidak, [yaitu] yang biasanya
diungkapkan dengan perbedaan titik (al nuqtah). Seperti: ya’lamuuna (mereka mengetahui) dan ta’lamuuna (kalian mengetahui). Dan, adakalanya dengan perubahan bentuk tetapi maknanya tidak, contoh: Al shiraath dan al siraath (jalan) (QS Al-Faatihah [1]:6); dan al mushaithirun dan al musaithirun (berkuasa) (QS. Ath-Thuur [52]:37). Mushaf ditulis dengan shaad sebagai ganti dari sin, yang merupakan aslinya. Membaca (qira’ah) shaad sesuai dengan tulisan mushaf secara nyata (tahqiq), sedangkan sin secara perkiraan (taqdir).
3. Perbedaan isim dalam tunggal (al mufrad), makna dua (al tatsniyah) dan makna banyak (al jama’); atau laki-laki (al mudzakkar) dan wanita (al ta’nits), seperti dalam firman-Nya:
“Dan, orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji-janjinya.” (QS. Al-Mu’minuun [23]:8)
Lafadz li amaanaatihim sering dibaca dengan mufrad, yakni li amaanatihim. Pendatangan (‘adaa’) dua cara, pada hakikatnya tetap satu. Karena, jika dibaca mufrad yang dimaksud adalah jenis (qashdu al jinsi) dan jenis maknanya banyak. Sedangkan, jika dibaca jama’, sedangkan maksud jama’ adalah menghabiskan individu-individu (istighraq li al afrad) dan makna istighraq sendiri adalah jenis (al jinsiyah).
4. Perbedaan karena mengganti kata dengan kata lain yang maknanya sama (al muradif), karena perbedaan lidah (al lisan) antara satu kabilah dengan kabilah yang lain. Firman Allah SWT:
“Seperti bulu yang dihambur-hamburkan” (QS. Al-Qaari’ah [101]:4)
biasa dibaca ka al shufi al manfuusy.
Al Mazini menceritakan: “Aku mendengar Abu sarar al ghanawi membaca:
“Lalu mereka merajalela di kampung-kampung” (QS. Al-Israa’ [17]:5)
kemudian saya berkata kepadanya, ‘bukan haasuu tetapi jaasuu,’ lalu Abu Sarar berkata, haasuu dan jaasuu adalah sama. Dan, aku juga mendengar ia membaca:
“Dan, [ingatlah] ketika kalian membunuh seorang manusia lalu kalian saling tuduh menuduh tentang itu.” (QS. Al-Baqarah [2]:72)
kemudian saya berkata kepadanya, ‘bukan nasmatun tetapi nafsun, lalu ia berkata, nasmatun dan nafsun adalah sama.”
“Sesungguhnya, kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (QS. Al-Muzzammil [73]:7). Sabhan dan sabkhan maknanya sama yaitu menyelesaikan pekerjaan (al faragh).
Atau, karena dua kalimat yang saling mengganti tersebut berdekatan tempat keluarnya huruf (mahraj), seperti firmannya:
“Dan, pohon pisang yang bersusun-susun [buahnya].” (QS. Al-Waaqi’ah [56]:29). Thalhun biasa dibaca dengan thal’un, karena memperhatikan bahwa mahraj ‘ain dan ha’ adalah sama.
5. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan
kata, yang memang diketahui mengapa didahulukan dan diakhirkan, baik
secara umum dalam bahasa Arab atau secara khusus dalam rangkaian
pengungkapan (nasqu al ta’bir). Seperti firman Allah yang
menerangkan keadaan orang-orang mukmin, bahwa Allah membeli diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada
jalan Allah:
“Lalu, mereka membunuh atau terbunuh.” (QS. At-Taubah [9]:111)
Ayat tersebut sering dibaca dengan fa yuqtaluuna wa yaqtuluuna.
Ungkapan yang pertama, mengesankan bahwa orang-orang mukmin secara
cepat membunuh (mengalahkan) musuh, sedangkan ungkapan yang kedua,
mengesankan seakan-akan mereka berduka cita untuk masuk ke medan
pertempuran, dengan suatu harapan Allah SWT menjadikan mereka sebagai
syuhada. Jadi, berbedaan ini hanya dalam bentuk pengungkapan (shighat al ta’bir), yakni dengan mendahulukan dan mengakhirkan kata, sedangkan aada’ dua ungkapan tadi selamanya sama, dan tidak ada perubahan apa pun.
6. Perbedaan dengan adanya sedikit tambahan atau pengurangan, mengikuti kebiasaan Arab yang pada suatu waktu membuang
huruf jar1 dan
huruf ‘ataf2,
sedangkan pada keadaan yang lain menetapkan huruf-huruf tersebut.
Bagian ini tidak dianggap tambahan atau pengurangan kecuali pada
huruf-huruf yang sangat sedikit dan terbatas, itu pun dengan perhatian (
al tanbih) sebagai sesuatu yang menyalahi aturan (
al syadz)
selama tidak dijaga (dianggap) oleh imam-imam yang terpercaya. Di
antaranya yang termasuk tambahan adalah firman Allah SWT dalam surat
At Taubah:
“Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.” (QS. At-Taubah [9]:100). Jannatin tajrii tahtaha al anhaar sering dibaca jannatin tajrii min thatiha al anhar.
Dan, yang termasuk pengurangan adalah firman-Nya:
“Mereka (orang-orang kafir) berkata: Allah mempunyai anak.” (QS. Al- Baqarah [2]:116). Ayat tersebut sering dibaca qaaluu, tanpa ada wawunya.
7. Perbedaan dialek (al lahjat), yaitu pada fathah, imalah, tarqiq, tafkhim, hamzah, tashil, kasrahnya huruf mudhara’ah, mengganti sebagian huruf, isba’ mim dzukur dan ismam-nya sebagian harakat. Seperti firman Allah:
“Sudahkah sampai kepadamu [ya Muhammad] kisah Musa.” (QS. An- Naazi’aat [79]:15)
Dan, firman-Nya:
“Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun [kembali] jari-jemarinya dengan sempurna.” (QS. Al-Qiyaamah [75]:4).
Pada ayat tersebut kata ataa, muusaa dan balaa dibaca imalah.
Dan, firman Allah SWT:
“Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha Melihat [dosa-dosa hambanya].” (QS. Al-Israa’ [17]:17).
Pada ayat tersebut kata khabiiran dan bashiiran dibaca tarqiq huruf ra’ –nya.
Dan, seperti membaca tafkhim terhadap lamnya kata al shalaatu dan al thalaaqu.
Firman-Nya: qad aflaha (sungguh beruntung), dibaca dengan menghilangkan hamzah, yakni qadaflaka. Dan, firman-Nya: wa taswaddu wujuhun (Wajah menghitam), nahnu ‘a’lamu (Kami mengetahui) dan alam ‘i’hid (bukankah Aku telah memerintahkan) ayat-ayat tersebut dibaca dengan harakat kasrah pada huruf mudhara’ah-nya.
Dan, firman Allah SWT:
“Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk.” (QS. Al- Fath [48]:6).
Ayat tersebut dibaca dengan isba’ mim dzukur-nya.
Dan, firman-Nya:
“Dan, air disurutkan.” (QS. Huud [11]:44).
Dibaca dengan meng-isymam-kan dhomah-nya ghain ke kasrah.
Point yang terpenting dari tujuh point di atas adalah
point yang terakhir, karena menampakkan hikmah yang besar dalam
turunnya Al Qur’an. Hal itu meringankan dan memudahkan umat yang terdiri
dari berbagai macam suku bangsa dan berbeda-beda dialeknya, sehingga aada’ mereka terhada sebagian lafadz menjadi jelas.
Rasulullah SAW bersabda: (arab)
“Jibril membacakan kepadaku suatu huruf, lalu saya menirukannya. Maka,saya tidak memintanya kembali hingga selesai tujuh huruf.”
Ayat-Ayat Bayyinat
Para ahli mengkaji penjuru-penjuru alam, dan mampu
menghasilkan senyawa-senyawa dan materi-materi baru; dan mampu
menambatkan hukum-hukum (al qowanin) dan aturan-aturan alam. Mereka
mempelajari sampai mengerti; Meneliti sampai melahirkan sesuatu; Mencoba
sampai menghasilkan sesuatu; Mangkaji sampai mendapatkan temuan-temuan;
Memperhatikan sampai merenung; Berpikir sampai pada suatu kesimpulan.
Bersungguh-sungguh sampai menemukan [hasilnya]. Semua itu menunjukkan
kemampuan manusia, kekuatan kecerdasannya dan pengindraannya. Akan
tetapi, meskipun manusia sangat cerdas, mampu menemukan dan
“menciptakan” sesuatu, bahkan kecerdasannya sampai pada batas yang sulit
untuk diungkapkan, sebetulnya manusia sangat kecil (bodoh) jika
dibanding dengan ilmu Allah Jalla wa ’Ala yang menjangkau segala
sesuatu. Inilah yang digambarkan Al Qur’an kepada kita, meskipun hati
[akal] kita masih terpukau dengan ilustrasi-ilustrasi yang memukau
tersebut. Allah SWT berfirman:
“Dan, seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena
dan laut [menjadi tinta], ditambah tujuh laut [lagi] sesudah [kering]
nya, niscaya kalimat Allah tidak akan ada habis-habisnya. Sesungguhnya,
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman [31]:27)
Dan, firman-Nya di surat yang lain:
“Katakanlah: kalau sekiranya lautan menjadi tinta
untuk [menulis] kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu
sebelum habis [untuk menulis] kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
(Allah) datangkan tambahan sebanyak itu [pula]” (QS. Al-Kahfi [18]:109)
Ayat-ayat di atas menjelaskan kepada kita tentang
laut yang membentang luas dan melimpah yang berisi tinta, lalu tinta
tersebut kita pergunakan untuk menulis kalimat-kalimat Allah yang
menunjukkan ilmu-Nya. Dan, ayat tersebut juga menjelaskan tentang
pohon-pohon yang diilustrasikan menjadi pena yang sangat banyak, lalu
pena-pena tersebut digunakan untuk menulis kalimat Allah. Yang sangat
menakjubkan ialah, jika seluruh pohon di dunia ditebang lalu dijadikan
pena; dan seluruh air laut diubah menjadi tinta, bahkan dihadirkan lagi
laut yang sama, maka manusia tidak akan mampu menulis kalimat-kalimat
Allah [seluruhnya] yang menunjukkan keluasan ilmu Allah. Pohon dan laut
akan habis, sedangkan ilmu Allah tidak akan pernah habis. Sebab, Ilmu
Allah tidak ada batas dan tepinya, iradah Allah tidak tertolak, dan kehendak-Nya (al mai’syah) berlangsung tanpa ada batasnya.
Dengan contoh ilustrasi yang terindra dan faktual
ini, Allah SWT mendekatkan suatu gambaran makna yang tidak terbatas
kepada manusia yang bersifat terbatas. Ilmu manusia, meskipun sangat
tinggi, masih tetap berada dalam cakupan qudrah-Nya. Sedangkan, ilmu
Allah tidak terbatas. Sesungguhnya, sesuatu yang terbatas meskipun
sangat tinggi pasti akan berakhir juga. Sedangkan, sesuatu yang tidak
terbatas tidak akan pernah berkurang sedikit pun.
Ini adalah relitas. Dalilnya adalah bukti
kekuasaan-Nya yang tersebar di segenap penjuru alam semesta, kehidupan
dan pada diri manusia sendiri.
“Dan, banyak sekali tanda-tanda [kekuasaan Allah]
di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling
darinya.” (QS. Yusuf [12]:105)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda [kekuasaan] Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah
benar.” (QS. Fushshilat[41]:53)
Telah ditetapkan oleh manusia di dalam temuan
ilmiahnya bahwa segala sesuatu, dari yang sekecil atom hingga sebesar
benda-benda angkasa yang berenang di ufuknya, berjalan sesuai dengan
aturan yang detail, menakjubkan, sangat sempurna dan sangat presisi.
Semua itu merupakan bukti yang paling sederhana bahwa tidak mungkin alam
berjalan dengan sendirinya, tanpa ada kehendak yang Maha Sadar (al
iradah al wa’iyah) dan kekuatan yang Maha Bijaksana (al quwwah al
hakimah) serta kekuatan yang Maha Kuasa (al quwwah al qadirah). Dialah
yang menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran-ukurannya. Inilah
yang diperkuat oleh Al Qur’an Al Karim dalam surat-surat dan ayat-ayat
yang sangat banyak.
“Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qamar [54]:49)
“Dan, Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqaan [25]:2)
“Dan, tidak ada satu pun melainkan pada sisi
Kamilah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan
ukuran tertentu.” (QS. Al-Hijr [15]:21)
“Begitulah ciptaan Allah yang meyakinkan tiap-tiap sesuatu.” (QS. An-Nahl [16]:88)
Dengan melakukan kajian-kajian dan
pembahasan-pembahasan, baik berhubungan dengan kehidupan manusia atau
kehidupan tanaman dan hewan; atau tentang air dan udara; atau tentang
gunung dan angin; atau tentang seluruh alam dengan seluruh tanda-tanda
yang tidak mengetahui hakikatnya kecuali Allah, akan menguatkan
penciptaan ini dan penetapan ukuran-ukurannya oleh yang Maha Sadar, Maha
Tinggi dan Maha Menghendaki.
Tidak ada seorang ilmuwan pun yang memahami Al
Qur’an, lalu berdiri pada sebagian sisi-sisinya, kecuali akan
menyakininya dan tidak ada keraguan sedikit pun. Di dalam Al Qur’an Al
Majid terdapat isyarat tentang ilmu dan pembahasannya. Yang diisyaratkan
oleh Al Qur’an tidak akan bertentangan dengan konklusi yang sudah
dicapai; atau akan dicapai oleh temuan-temuan ilmiah.
Alex lawazim (Seorang orientalis)
berkata, “Muhammad meninggalkan sebuah kitab, yang merupakan ayat yang
sangat baligh dan surat perjanjian tentang moral (akhlaq). Kitab
tersebut adalah kitab yang suci. Tidak ada masalah-masalah ilmiah atau
temuan-temuan modern yang bertentangan dengan asas islam. Terdapat
keselarasan yang sempurna antara informasi-informasi Al Qur’an dengan
hukum-hukum alam.”
Gotah (Dan, orientalis lain) berkata,
“Sesungguhnya, informasi-informasi Al Qur’an adalah praktis dan sesuai
dengan kebutuhan pemikiran manusia.”
Adapun salah satu keistimewaan Al Qur’an yanng
menjadikannya sangat unik dengan karakteristik-karakteristiknya,
sehingga tidak mungkin ada yang menyamainya. James Maitsner
(juga, orientalis lain) berkata, “Al Qur’an mungkin kitab yang paling
banyak dibaca di seluruh dunia. Kitab yang paling mudah dihafal dan
paling berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari bagi orang yang
mengimaninya. Kitab yang tidak panjang seperti ‘perjanjian lama.’
Ditulis dengan teknik yang tinggi, dekat dengan syair dan prosa (al
natsar) [tapi bukan keduanya]. Salah satu keistimewaannya adalah
menjadikan hati tentram, dan menjadikan iman bertambah dan semakin
tinggi, ketika mendengarkannya. Wazan dan ketukannya (al taqqattu’)
seperti alunan genderang, gema alam dan nyanyian-nyanyian yang dikenal
pada golongan-golongan terdahulu (al jama’at al qadimah). Al Qur’an
mengatur aktivitas yang terkait dengan interaksi di antara manusia.
Keserasian antara ibadah kepada Tuhan yang satu dengan
pengetahuan-pengetahuan praktis, menjadikan Al Qur’an adalah kitab yang
unik dan satu kesatuan yang saling berkaitan.”
Pandangan Al Qur’an mendahului dan membimbing
kemajuann temuan-temuan ilmiah (al iktisyafat al ‘ilmiyah). Antara
hukum-hukum Al Qur’an dan hasil-hasil ilmu modern yang berkaitan dengan
penciptaan alam, manusia dan kehidupan memiliki keselarasan yang
sempurna. Di dalam Al Qur’an terdapat hal-hal yang berkaitan dengan
penciptaan dan pengaturan alam, yang ilmu pengetahuan belum tentu dapat
mengetahui hakikatnya dan akan selalu terbatas untuk menguraikan misteri
yang tersembunyi.
Semua itu adalah untuk menerangkan hakikat Al Qur’an Al Karim, bahkan hanya sebagian kecil dari hakikatnya saja.
“Dan, orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa
wahyu yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu itulah yang besar dan
menunjuki [manusia] kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha
Terpuji.” (QS. Saba’ [34]:6)
Meskipun demikian, yang harus selalu menjadi perhatian adalah bahwa Al Qur’an bukan buku ilmu pengetahuan.
Sesungguhnya, ayat-ayat yang terdapat di dalamnya mengisyaratkan
hakikat yang berhubungan dengan penciptaan, kehidupan, manusia dan alam
semesta. Semua itu hadir adalah untuk mengingatkan tentang
hakikat-hakikat dari pengaruh iradah, qudrah, ilmu, hikmat, keseimbangan
dan keyakinan. Semua itu menunjukkan bahwa eksistensi Allah SWT adalah
benar. Dan, juga akan menghapus filsafat materialisme dan perdebatan
yang hanya mengantarkan pada pemahaman bahwa materi dan pergerakannya
adalah asal kejadian dan menjadikan kita berputar pada putaran kosong
(khayalan belaka) dan berada di pingir jurang yang akan roboh (longsor)
sehingga bangunan di atasnya berupa cerita-cerita bohong (al auham) dan
kebatilan akan longsor [ke neraka jahanam].
Seluruh kandungan Al Qur’an adalah untuk menguatkan
hakikat eksistensi Allah SWT. Mengajak manusia untuk merenung dan
berpikir tentang keagungan-Nya dan kebesaran qudrah-Nya. Diantara
dalil-dalil ayat tentang penciptaan adalah firman Allah:
“Maka apakah [Allah] yang menciptakan itu sama dengan
yang tidak dapat menciptakan [apa-apa]? Maka mengapa kalian tidak
mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl [16]:17)
“Dan, Tuhanmu menciptakan apa yang dikehendaki dan memilihnya.” (QS. Al-Qashash [28]:68)
“Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada antara keduanya melainkan dengan [tujuan] yang benar dan dalam waktu
yang ditentukan.” (QS. Al-Ahqaaf [46]:3)
Sesungguhnya, Al Qur’an menjadikan
kebiasaan-kebiasaan manusia dan kejadian-kejadian yang berulang-ulang
merupakan masalah alam yang besar. Al Qur’an membuka tabir hukum-hukum
Tuhan (al qowanin al ilahiyyah) di dalamnya dan menumbuhkan akidah yang
agung dan menyeluruh; dan menumbuhkan penggambaran yang sempurna
terhadap wujud ini. Darinya Al Qur’an menjadikan manhaj pemikiran dan
perenungan; kehidupan bagi ruh dan hati; dan terbangunnya perasaan dan
pengindraan. Sesungguhnya, hal itu menyadarkan terhadap berbagai
fenomena yang manusia selalu menyaksikan pagi dan sore, tetapi mereka
selalu melupakannya. Juga, menyadarkan diri mereka tentang
keajaiban-keajaiban dan keanehan-keanehan yang ada di dalamnya.
Dalil paling sederhana dan paling dekat dengan fakta
dan eksistensi manusia adalah tentang penciptaan manusia itu sendiri.
Apakah manusia tidak melihat dirinya sendiri dan menanyakan: siapa yang
telah menciptakannya? Dari mana ia diciptakan? Dan, bagaimana ia
diciptakan? Allah SWT bertanya kepada manusia dengan firman-Nya:
“Kami telah menciptakan kalian, maka mengapa kalian
tidak membenarkan [hari kebangkitan]? Maka terangkanlah kepadaku tentang
nutfah yang kalian pancarkan. Kaliankah yang menciptakannya, atau Kami
yang menciptakannya?” (QS. Al-Waaqi’ah [56]:57–59)
Apakah peran manusia dalam proses penciptaannya?.
Perannya hanyalah laki-laki meletakkan “air hinanya” di rahim perempuan,
setelah itu selesai perannya. Kemudian qudrah-lah satu-satunya yang
berperan dalam aktivitas [pengaturan dan proses] “air hina” tersebut.
Dialah yang menciptakan, menumbuhkan, membangun bentuknya dan meniupkan
ruh ke dalamnya agar bentuk dan ciptaannya menjadi sempurna.
“Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina,
kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu
yang ditentukan lalu Kami tentukan [bentuknya]. Maka Kamilah
sebaik-baik yang menentukan.” (QS. Al-Mursalaat [77]:20–23)
“Apakah manusia mengira, bahwa itu akan dibiarkan
begitu saja [tanpa pertanggungjawaban]? Bukankah dia dahulu setetes mani
yang ditumpahkan [ke dalam rahim]. Kemudian, mani menjadi “sesuatu yang
menempel”, dan Allah menciptakannya dan menyempurnakannya, serta Allah
menjadikan dari padanya sepasang laki-laki dan perempuan.” (QS. Al-Qiyaamah [75]:36–39)
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua bibir; Dan, Kami telah menunjukkan dua jalan kepadanya.” (QS. Al-Balad [90]:8–10)
“Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin [95]:4)
Jadi, alangkah baiknya jika manusia mau memikirkan
dari mana ia diciptakan dan memikirkan tanda-tanda (al aayaat) dalam
penciptaannya. Realita itu adalah dalil yang paling dekat dan tersebar
pada tubuh dan dirinya. Pada saat itulah ia akan melihat kekuasaan Al
Khaliq dan segala sesuatu yang telah dihadirkan oleh-Nya, berupa
ciptaan-ciptaan yang menakjubkan, kekuatan pengaturan (al tadbir) dan
keindahan penciptaan.
Dalil dan buktinya di dalam Al Qur’an banyak sekali,
sehingga sulit untuk dihitung. Al Qur’an mengkisahkan kepada kita
tentang umat-umat terdahulu; apa [yang membuat] mereka sampai menemukan
keimanan dan mendapat petunjuk kepada hakikat Allah SWT yang mutlak;
atau terlempar pada kesesatan setan, semakin jauh dari al haq dan
semakin dekat dengan kepalsuan dan kebatilan. Jika dalil-dalil dan
bukti-bukti tentang “hakikat yang pasti” tidak terjangkau oleh indra,
maka Al Qur’an telah menemukan dan memperlihatkan kepada kita tentang
ketetapan-ketetapan dan hakikat-hakikat yang selalu mengitari kita dan
hidup bersama kita dalam kehidupan di bumi ini. Segala sesuatu yang
sangat dekat dengan kita; yang meluruskan kehidupan kita yang bengkok;
yang kita selalu berinteraksi dengannya; yang memungkinkan kita untuk
menjangkaunya dengan pemikiran; dan yang memungkinkan kita untuk
mengambil dalil dengan akal, semua itu adalah ciptaan Allah SWT. Dia
menunjukkan dalil kepada kita atas ciptaan-Nya dan menghadirkan dalil
yang kokoh di hadapan indra dan jangkauan kita.
Kita selalu melihat segala sesuatu, yakni ciptaan
Allah, tetapi kita selalu lupa akan keagungan ciptaan ini dan
tempat-tempat yang menakjubkan dalam ciptaan-Nya. Kita [justru] tidak
menghiraukannya dan hanya menjadikannya sebagai rutinitas yang
berulang-ulang. Inilah karunia Al Qur’an (fadlu Al Qur’an) yang telah
membuka mata dan menunjukkan kepada kita, sehingga kita mampu menelaah
(melihat) rahasia yang tak terduga yang masih terselubung di dalamnya,
dengan ungkapan yang paling rinci dan pengggambaran yang paling benar.
Diantara bukti-bukti yang tersebar dalam eksistensi
manusia yang merupakan realita di dalam kehidupan manusia, dan diantara
yang tampak oleh indra manusia, mulai dari yang diisyaratkan oleh Al
Qur’an sampai yang teraba oleh tangan dan terlihat oleh mata, akan
tetapi manusia melupakannya (atau pura-pura lupa), yaitu: tanaman dan
pepohonan. Allah SWT berfirman:
“Maka terangkanlah kepadaKu tentang apa yang kalian
tanam? kalian yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya? kalau
Kami kehendaki, benar-benar kami menjadikannya kering dan hancur.” (QS. Al-Waaqi’ah [56]:63–64)
Peran manusia hanyalah menanam dan menabur biji dan
benih yang diciptakan oleh Allah. Kemudian, selesailah peranan manusia.
Lalu, Tangan qudrah mengendalikan proses benih yang sangat menakjubkan
dan sangat mengherankan. Biji dan benih menapaki jalannya agar kembali
pada jenisnya (tidak salah kode genetik, pnj), dan berjalan layaknya
orang berakal yang mengetahui tahapan-tahapan dalam perjalanannya. Tidak
pernah salah, seperti kesalahan yang dilakukan oleh manusia, walaupun
hanya sekali; tidak pernah berpaling dari jalannya; dan tidak pernah
tersesat dari tujuan yang telah tergambar padanya.
Bukankah qudrah Allah SWT yang telah mengendalikan
biji dan benih tersebut, sehingga menjadi tumbuhan atau pepohonan
sempurna yang bentuk dan jenis berbeda-beda (ada mangga, durian dll,
pnj)?
Kalau kita melihat realita terindra di hadapan kita,
mungkinkah akal membenarkan atau khayalan menggambarkan, jika misalnya
biji gandum yang mati (kering) yang tidak ada dahan, daun dan
tangkainya, lalu tiba-tiba tumbuh menjadi mayang dan biji yang banyak?
Atau, seperti biji yang kering yang tidak ada batang, dahan, daun,
bunga, dan buahnya, lalu tiba-tiba tumbuh menjadi pohon korma, zaitun
dan tin?
Bukankah hal ini selalu kita saksikan secara berulang-ulang pada setiap saat?
Layakkah manusia mengaku menciptakannya, padahal manusia hanya menabur benih yang telah diciptakan oleh Allah?
Manusia berkata, Kamilah yang menanam (al zar’u,
yakni menumbuhkan). Padahal, mereka hanya menabur benih dan menanam (al
harsu, yakni seperti mengambil dahan lalu menancapkan ke bumi). Adapun
yang menumbuhkan dan mengembangkan semuanya adalah Al khaliq al zaari’.
Jika Dia menghendaki, bisa saja biji dan benih tersebut tidak mengetahui
jalan pertumbuhannya (tidak mengenal kode genetiknya). Dan, jika Dia
menghendaki, biji tersebut akan dijadikannya kering dan hancur sebelum
mengeluarkan buah. Akan tetapi, dengan kehendak-Nya, Dia menancapkannya
di bumi dan memberi makanan dari unsur-unsur untuk kelangsungan
hidupnya. Dia menjadikan makhluk hidup dari sesuatu yang mati. Maha Suci
Zat yang Menanam dan Mencipta.
Berkenaan dengan hal itu, Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
“Sesungguhnya, Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.” (QS. Al- An’aam [6]:)
Dia mengeluarkan hidup dari yang mati!
Benar…! Benih tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan
jika dijatuhkan (ditanam) di bumi akan terbelah di bagian atas dan
bawahnya. Pada bagian bawah akan tumbuh akar yang menancap ke bumi. Akar
tersebut digunakan untuk mencari makanan. Pada bagian atas akan tumbuh
semacam kecambah (al nubtah) yang akan terus naik (tumbuh) di atas
permukaan bumi, dan akhirnya menjadi tumbuhan yang bercabang-cabang dan
menjulang tinggi. Setelah biji dan benih menjadi tumbuhan, kemudian akan
layu dan akhirnya mati.
Kehidupan ini berasal dari sesuatu yang mati, [yaitu]
dengan bertemunya prasyarat-prasyarat tertentu. Bukankah semua ini
merupakan taqdir Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana?
Tentang masalah tumbuhan ini, Allah SWT menjelaskan dengan firman-Nya:
“Dan, Dialah yang menurunkan air hujan dari langit,
lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, lalu
Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami
keluarkan dari tumbuh-tumbuhan yang menghijau ini butir yang banyak, dan
dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai dan
kebun-kebun anggur dan [kami keluarkan pula] zaitun dan delima yang
serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya
berbuah, dan perhatikan pula kematangannya. Sesungguhnya, pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda [kekuasaan Allah] bagi orang-orang
yang beriman.” (QS. Al-An’aam [6]:99)
Ayat di atas merupakan seruan Al Khaliq [untuk
memperhatikan] buah-buahan yang kita makan, tetapi kita tidak pernah
memikirkannya. Seruan tersebut bertujuan agar kita memperhatikan,
memikirkan dan merenungkan keluarnya buah-buahan, yakni mulai dari
proses keluarnya buah, sempurnanya buah sehingga matang; dan memahami
bagaimana proses adanya perbedaan ketika buah masih kecil dan ketika
sudah besar, adanya perbedaan warna, bau dan rasa. Bukankah semua itu
merupakan bukti yang sangat jelas adanya Sang Pencipta dan Pengatur
buah? Orang-orang yang beriman dengan hakikat, pasti akan mengambil
pelajaran dari buah-buahan tersebut, dan akan mengambil manfaat dari
pelajaran tersebut.
Salah satu bukti kekuasaan Allah SWT yang disebut
berulang-ulang dalam Al Qur’an karena urgensinya dalam kehidupan manusia
dan kehidupan semua makhluk hidup (biotik) adalah air. Air itulah yang
selalu diminun oleh manusia, digunakan untuk memberi minum hewan-hewan,
dan untuk irigasi tanaman-tanaman. Dengan air, sungai dan laut menjadi
penuh.
Bukankah kita selalu melihat air setiap hari sebagai senyawa utama penyusun tubuh kita dan penopang seluruh kehidupan kita?
Tuhan Yang Kuasa menanyakan kepada kita tentang air
yang selalu kita minum, Apakah kita yang menurunkannya atau Dia yang
menciptan dan menurunkannya? Dalam firman-Nya:
“Maka terangkanlah kepadaKu tentang air yang kalian
minum. Apakah kalian yang menurunkan dari awan atau Kami yang
menurunkannya? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka
mengapa kalian tidak bersyukur?” (QS. Al-Waaqi’ah [56]:68–70)
Benar, air merupakan asal dan unsur kehidupan.
Kehidupan tidak akan bisa berkembang [bahkan akan berhenti] tanpa adanya
air, seperti yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Lantas, apa peran
manusia terhadap air? Peran manusia hanya meminumnya, memberi minum
hewan-hewan dan mengairi tumbuh-tumbuhannya. Adapun yang menyusun air,
yang meng-ada-kan pada tubuh manusia dan pada seluruh tubuh makhluk
hidup, yang membangunnya dari unsur-unsurnya (hidrogen dan oksigen),
yang menurunkan dari mendung dan awan, adalah Allah SWT. Allah SWT telah
mentakdirkan air menjadi tawar, sehingga kehidupan dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Jika Allah SWT menghendaki, Dia akan menjadikan
seluruh air menjadi asin, sehingga kehidupan tidak akan bisa berjalan
dan tidak akan berkembang. Tidakkah manusia bersyukur dengan karunia
Tuhannya yang telah berkehendak sehingga kehidupan berjalan sebagaimana
mestinya?
Ayat-ayat Al Qur’an telah menerangkan qudrah Allah SWT tentang penciptaan air, dengan firman-Nya:
“Dan, Dialah yang membiarkan dua laut mengalir
(berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit;
dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.
Dan, Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan
manusia ini (punya) keturunan dan mushaharoh. Dan, Tuhanmu Maha Kuasa.” (QS. Al- Furqaan [25]:53–54)
Dan, firman-Nya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya
Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber
air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanaman-tanaman yang
bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya
kekunig-kuningan, kemudian dijadikannya hancur berderai-derai.
Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar [39]:21)
“Allahlah yang menundukkan lautan untuk kalian supaya
kapal-kapal dapat berlayar dengan seizin-Nya, dan supaya kalian dapat
mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kalian bersyukur.” (QS. Al- Jaatsiyah [45]:12)
“Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. Jika Dia
menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu
berhenti di permukaan laut. Sesungguhnya, pada yang demikian terdapat
tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi setiap orang yang banyak bersabar dan
banyak bersyukur.” (QS. Asy-Syuura [42]:32–33)
“Dan, sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada
mereka: ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi
sesudah matinya dengan air itu?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’.
Katakanlah ‘segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tidak
memahaminya.” (QS. Al-‘Ankabuut [29]:63)
“Dan, dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al- Anbiyaa’ [21]:30)
Bahka, bumi yang keras dan kering; diam dan mati;
tidak ada kehidupan di dalamnya; tidak ada keelokan sedikitpun; dan
tidak ada pertumbuhan, ketika diguyur air, maka bumi tersebut akan
berguncang dan bergerak setelah diamnya; akan berbunga setelah layunya;
akan berkembang setelah keringnya; akan tampak elok berseri dengan
tumbuhnya pepohonan, bunga-bunga dan tanaman. Maha Suci zat yang telah
mengingatkan orang-orang yang ingkar dengan nikmatnya, dan
menakut-nakuti orang tersebut dengan hari kebangkitan, yaitu dengan
firman-Nya:
“Dan, kamu lihat bumi itu kering, kemudian apabila
telah kami turunkan air di atasnya, maka bumi itu menjadi hidup, subur
dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. Yang demikian
itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah
yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.” (QS. Al-Hajj [22]:5–6)
Tiada Tuhan selain Allah. Bagi-Nya segala puji dan
syukur; kenikmatan dan keridhaan atas ciptaan-Nya; turunnya air hujan
dan kehidupan seluruh makhluk hidup, yaitu ketika Dia menciptakan
seluruh makhluk hidup dari air.
Seperti halnya air, Allah SWT membuat contoh kepada
manusia berupa api (al nar), yang selalu manusia gunakan. Allah SWT
menanyakannya kepada manusia dalam firman-Nya:
“Maka terangkanlah kepadaKu tentang api yang kalian
nyalakan [dari gesekan-gesekan kayu]. Apakah kalian yang menjadikan kayu
atau Kami yang menjadikannya? Kami menjadikan api untuk peringatan dan
bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.” (QS. Al-Waaqi’ah [56]:71–73)
Sungguh, penemuan api oleh manusia adalah sesuatu
yang sangat besar bagi kehidupa manusia. Atau, mungkin yang terbesar
untuk membangun peradaban manusia. Akan tetapi, api dianggap suatu hal
yang biasa dan tidak mendapat perhatian sedikit pun. Manusia menyalakan
api tanpa mengetahui rahasianya sedikit pun. Manusia juga tidak pernah
berpikir siapa yang membuat api, dan siapa yang menumbuhkan kayu-kayu
yang mereka gunakan untuk menyalakannya. Oleh karena itu, Al Qur’an
sangat mendesak [akan arti penting] sesuatu yang dianggap biasa dalam
kehidupan manusia, sehingga manusia ingat Penciptanya, pencipta api,
pohon-pohon dan segala sesuatu. Kemudian, dengan memperhatikan api yang
memiliki energi panas, mereka menjadi ingat akan api neraka dan ingat
pada penantiannya jika ia tidak beriman, tidak jujur, tidak berjalan
sesuai dengan iradah dan masyiah Allah SWT, tidak berjalan sesuai dengan
petunjuk-Nya dan tidak melakukan apa saja yang Allah perintahkan
kepadanya. Dialah Allah SWT yang menumbuhkan pohon-pohon yang dapat
digunakan bahan bakar (al waqud).
Rahasia-rahasia api (yang merupakan mukjizat) bagi
para ilmuwan selalu menjadi objek kajian, pemikiran dan perhatian. Dan,
ilmu pengetahuan tersebut justru memperkuat ayat-ayat Al Qur’an, yaitu
tentang sumber pembakaran yang menghasilkan api. Para ilmuwan menyatakan
bahwa api merupakan penampakan panas yang selalu bertambah-tambah, yang
dihasilkan dari pembakaran material. Sedangkan, pembakaran adalah
reaksi kimia antara material dengan oksigen. Akan tetapi, pembakaran
yang menghasilkan panas hanyalah reaksi oksigen dengan karbon (bukan
dengan unsur yang lain). Secara alami karbon terdapat di berbagai
material baik materi hidup atau mati. Hanya saja, keberadaannya paling
banyak terdapat di pepohonan. Jaringan pohon (ansijah al nabat) semuanya
tersusun dari karbon. Bahkan, karbon hampir menjadi satu-satunya unsur
yang menyusun tumbuh-tumbuhan, buah dan makanan-makanannya.
Api sangat penting dalam kehidupan manusia, [yaitu]
untuk memanaskan tubuh, memasak makanan dan untuk menggerakkan industri.
Kalau saja, api tersusun seperti air dan udara, maka hancurlah
kehidupan ini dan akan terjadi bahaya yang terus-menerus. Hendaknya
manusia berpikir bagaimana Allah SWT menyiapkan unsur-unsurnya;
menjadikan unsur-unsur tersebut tersimpan dengan sangat aman pada
tumbuh-tumbuhan hijau. Allah SWT memberikan kemampuan kepada kita untuk
menyalakannya ketika kita membutuhkan. Allah SWT menjadikannya sebagai
kesenangan (untuk mengambil manfaat dan kesenangan hidup), dan
peringatan (kita ingat ketika mengeluarkan api dari tumbuhan hijau yang
masih basah, yang dalam kondisi tersebut belum bisa kita nyalakan).
Sehinnga, kita menjadi ingat terhadap kekuasaan yang agung (al qudrah al
‘adzimah) dan hikmah yang cemerlang (al hikmah al bahirah), yang telah
menumbuhkan “pohon api” kepada kita.
Sungguh, Al Qur’an Al karim telah menyebutkan dalam
ayat-ayat yang banyak sekali tentang hewan-hewan, baik hewan darat,
burung-burung dan lain-lain. Al Qur’an menunjukkan adanya
perbedaan-perbedaan, meskipun hewan-hewan tercipta dari materi yang sama
yaitu air dan zat-zat renik (al turab). Al Qur’an banyak menyebutkan
tentang penciptaan hewan; penyusunanya; perbedaan jenis dan bentukya;
ukuran tubuh dan kekuatannya; warna dan suaranya; dan manfaat dan
mudharatnya. Allah berfirman:
“Dan, Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari
air, maka sebagian dari hewan ada yang berjalan di atas perutnya dan
sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian yang lain berjalan
dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya.
Sesungguhnya, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. An-Nuur [24]:45)
“Dan, tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat
seperti kalian.” (QS. Al-An’aam [6]:38)
“Dan, demikian [pula] di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak terdapat
bermacam-macam warna [dan jenisnya]. Sesungguhnya, yang takut kepada
Allah di antara hamba-hambanya, hanyalah ulama’ (ilmuwan).” (QS. Faathir [35]:28)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana unta tersebut diciptakan?” (QS. Al-Ghaasyiyah [88]:17)
Menurut ilmu pengetahuan, unsur-unsur penyusun hewan
yang telah diketahui berasal dari debu (zat-zat renik) dan air bumi.
Kemudian, menjadi bercabang-cabang dan berbeda-beda sesuai dengan
perintah dan qudrah Allah; dan sesuai dengan hukum-hukum Tuhan (al qowanin al ilahiyah) yang menunjukkan pada ketetapan, iradah dan hikmah.
Dari ketetapan-Nya, seperti telah ditemukan dalam ilmu pengetahuan,
setiap jenis hewan yang beraneka warna, pada mulanya diciptakan Allah
dari telur atau dari janin. Terdapat bermacam-macam hewan, dan setiap
jenis dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat dan karakteristiknya
masing-masing. Hewan-hewan tersebut pada mulanya tercipta dari air,
seperti yang telah diungkapkan Al Qur’an al karim.
Salah satu bukti dalam Al Qur’an yang memberi isyarat
bahwa Allah SWT penciptanya; dan pemberi petunjuk, wahyu dan ilham
kepadanya, yaitu lebah (al nahl). Allah SWT menyebutnya secara spesifik dalam firman-Nya:
“Dan, Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah ‘Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat
yang dibuat manusia,’ kemudian makanlah dari tiap-tiap [macam]
buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah memudahkan [bagimu].
Dari perut lebah itu keluar minuman [madu] yang bermacam-macam warnanya,
di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah)
bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl [16]:68–69)
Sungguh menakjubkan, jika kita mengetahui kehidupan
lebah yang telah diisyaratkan oleh Al Qur’an. Lebah membangun sarang dan
membaginya menjadi kamar-kamar, layaknya bangunan arsitek (al nidham al
handasy) yang menakjubkan. Kamar-kamar kecil diperuntukkan untuk lebah
pekerja dan kamar besar untuk raja (ya’sub). Sedangkan ruangan khusus
untuk ratu yang sedang hamil. Tugas-tugas lebah terbagi secara jelas,
sesuai dengan pembagian kamar-kamar tersebut. Ada lebah yang bertugas
mengambil nektar dari sari bunga. Ada juga lebah yang bertugas
menyiapkan makanan untuk lebah yang masih kecil. Lebah senior
mengunyahkan madu agar mudah dicerna untuk lebah yunior. Ketika lebah
yunior sampai batas yang tidak memerlukan bantuan lagi, para pekerja
tidak mengunyahkannya. Kerjasama sosialnya (al ta’awun al ijtima’iy)
berlangsung secara kontinyu, tidak berubah dan melenceng pada sepanjang
masa. Organisasinya sangat prima dan sangat sulit ditiru, bahkan oleh
lembaga sosial (al muassasah al ijtimaiyah) paling profesional yang
dikelola oleh manusia, yang katanya, berakal dan beradab. Demikianlah
kehidupan lebah.
Sedangkan dari sisi kemanusiaan, hendaknya kita
merenungkan bahwa lebah telah memproduksi rejeki untuk kita berupa madu
yang sangat lezat. Allah SWT menciptakan madu sebagai obat untuk
beberapa penyakit. Bukankah Allah SWT, seperti yang telah Dia sampaikan
kepada kita di dalam kitab-Nya yang agung, telah mengilhamkan kepada
lebah untuk membangun sarangnya di gunung, pohon-pohon dan di
tempat-tempat lain? Kerja lebah sangat menakjubkan. Lebah memindahkan
nektar dari sari bunga dengan mulutnya, dan membawanya melewati
ranting-ranting, daun-daun, pepohonan dan tempat-tempat lain yang sulit
dijangkaunya. Hendaknya kita merenungkan bagaimana lebah meletakkan
muatan yang dibawanya di tempat-tempat tertentu yang memiliki
sifat-sifat tertentu. Sehingga, dihasilkan madu yang bersih dan yang di
dalamnya terdapat kelezatan bagi orang-orang yang meminumnya, dan
terdapat obat bagi orang yang memakannya.
Nektar yang dipetik dari bunga tanaman dan
pohon-pohon mempunyai warna yang beraneka ragam. Ada yang sangat putih,
ada yang kuning, ada yang kemerah-merahan atau kehitam-hitaman. Warna
yang berbeda berasal dari campuran zat dengan warna bunga yang diserap
oleh lebah. Kemudian, madu tersebut keluar dari perutnya, [yakni] lewat
mulut lebah seperti air liur (al riq). Allah SWT menyatakan bahwa madu
keluar dari perutnya dan bukan dari mulutnya. Hal ini agar kita (al
saami’) tidak menduga bahwa madu sekedar keluar lewat mulut saja dan
tidak dari perut; atau dikeluarkan lewat anusnya seperti kotoran-kotoran
hewan. Keluarnya madu lewat mulut lebah merupakan salah satu
karakteristik yang mendorong kita untuk mengambil pelajaran, karena
seluruh hewan yang bermanfaat lainnya, mengeluarkan manfaatnya tidak
dari mulut (seperti ayam, sapi, kambing dan hewan yang “bermanfaat”
lainnya). Diantara pelajaran yang lain dari lebah adalah madu yang di
dalamnya terdapat obat. Yang sangat menakjubkan, madu tersebut keluar
dari tempat keluarnya racun, yaitu tempat sengatannya.
Salah satu keajaiban dan keindahan lebah adalah
wataknya (tabiat) yang telah diciptakan Allah SWT. Tabiatnya berupa
pengorganisasian dan pengaturan komunitasnya. Setiap komunitas terdapat
raja (ya’sub) sebagai pimpinannya (amir), yang selalu (bergerak) paling
depan. Raja menjaga dan mengatur urusan-urusan lebah, sedangkan
lebah-lebah yang lain mengikuti di belakangnya. Jika pimpinannya tidak
ada, maka sistemnya menjadi pudar, hilanglah pilar-pilar (aturan) lebah
dan akhirnya lebah bercerai-berai pergi ke segala arah.
Sesungguhnya, pada yang demikian tadi, terdapat
hujjah yang rasional dan petunjuk yang jelas atas keesaan Allah SWT dan
keagungan qudrah-Nya bagi orang-orang yang berpikir.
Semisal dengan lebah adalah laba-laba (al ‘ankabut).
Laba-laba membangun rumahnya dengan air liur (al li’ab) yang didesain
dan disusun dengan teknik arsitek yang menakjubkan. Laba-laba menjadikan
rumahnya sebagai jaring dan perangkap untuk memburu makanannya. Dan,
yang tak kalah menakjubkan adalah burung (al thuyur). Jika kakinya
terluka, burung mampu mengobatinya sendiri dengan membalutnya. Tempat
lukanya dibalut tanah basah dan rumput, kemudian burung tersebut
berjemur di bawah terik matahari hingga tanah dan rumput menjadi kering.
Balutan tanah dan rumput tersebut menjadi ikatan yang kuat seperti
layaknya pembalut untuk menjaga anggota [tubuh] yang luka hingga tumbuh
daging lagi (sembuh).
Dengan dorongan apa, bahkan naluri apa, hewan-hewan
mampu melakukan aktivitas-aktivitas yang mengagumkan, [yang hewan lain]
seperti gajah, kuda, macan, bahkan monyet tidak bisa melakukan? Apa
hubungan antara lebah dan laba-laba, sehingga masing-masing memiliki
ilmu keinsinyuran dan kontruksi bangunan? Bukankah Tuhan yang
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya? Bukankah Tuhan yang telah
memberikan kepada setiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberikan
petunjuk?
Al Qur’an juga banyak menyebutkan tentang binatang
ternak (al an’aam). Qudrah siapakah, selain qudrah Allah SWT, yang mampu
menggabungkan potensi binatang ternak yang memiliki kelemahan dan
kehinaan dengan kekuatan yang cukup untuk digunakan sebagai alat
produksi pertanian dan transportasi. Pada waktu yang sama, binatang
ternak mencukupi kebutuhan makanan manusia, menyediakan pakaian
penghangat manusia, membangun rumah dan memenuhi setiap kebutuhan
manusia lainnya. Binatang ternak tidak menuntut yang macam-macam,
kecuali hanya makanan dan minuman secukupnya, atau [cukuplah]
dilemparkan padanya rumput-rumputan, kemudian ia akan makan dan minum
dari rejeki Allah SWT tersebut. Benar, qudrah manakah selain qudrah
Allah SWT yang mampu menciptakan binatang-binatang ternak dan
menjadikannya dengan bentuk seperti ini?, seperti yang difirmankan Allah
SWT:
“Dan, apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya
Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagai bagian
dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu
mereka menguasainya? Dan, Kami tundukkan binatang-binatang untuk mereka,
maka sebagian menjadi tunggangan mereka dan sebagiannya mereka makan.
Dan, mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapa
mereka tidak bersyukur?” (QS. Yaasiin [36]:71–73)
Dan, firman-Nya:
“Dan, sesungguhnya pada binatang ternak itu
benar-benar terdapat pelajaran bagi kalian. Kami memberi kalian minum
dari apa yang ada di perutnya (berupa) susu yang bersih antara kotoran
dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS. An-Nahl [16]:66)
Dalam ayat-ayat yang menerangkan dengan jelas ini (al
ayat al bayyinat), Allah SWT menghadirkan keajaiban-keajaiban
ciptaan-Nya, keindahan hikmah-Nya dan dalil-dalil qudrahnya bagi
orang-orang yang mau berpikir. Semua itu akan menjadikan manusia
mengetahui dan menetapkan ke-Esa-an Allah SWT, dan mengambil pelajaran
(‘ibrah) secara nyata bahwa Al Qur’an adalah kitab-Nya yang kokoh. Allah
SWT berkehendak bahwa Al Qur’an manjadi cahaya bagi seluruh manusia.
Renungkanlah firman-Nya:
“Dan, sesungguhnya pada binatang ternak itu
benar-benar terdapat pelajaran bagi kalian. Kami memberi minum dari apa
yang ada pada perutnya [berupa] susu yang bersih antara kotoran dan
darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS. An-Nahl [16]:66)
Al Kalaby meriwayatkan dari Ibnu Abbas
radliyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Makanan binatang-binatang terdapat pada
usus besar. Paling bawah adalah kotoran; paling atas adalah darah; dan
tengahnya susu. Darah mengalir lewat urat-urat (al ‘uruq), susu terdapat
di kelenjar susu dan kotoran tetap dalam keadaannya. Susu dengan
warnanya yang putih dan rasanya yang khas tidak tercampur dengan warna
darah yang merah dan bau darah juga tidak tercampur dengan warna kotoran
yang kuning dan berbau.” Apa yang diriwayatkan oleh Al Kalaby
menunjukkan hakikat realita yang kita temukan. Ilmu pengetahuan
menjelaskan tentang aktivitas pencernaan hewan, bagaimana makanan hewan
yang pada umumnya berasal dari tanaman diubah menjadi darah, sebagai
makanan tubuh. Ada yang diubah menjadi susu yang bersih lagi mudah
ditelan bagi yang meminumnya, sementara endapan-endapan dan sisa keluar
sebagai kotoran. Secara alami, semua ini merupakan aktivitas dalam tubuh
hewan. Setiap anggota tubuh memiliki tugas masing-masing. Hasil dari
ketepatan yang sempurna ketika anggota-anggota melakukan aktivitasnya
adalah dihasilkannya susu yang mudah “ditelan” dan yang menyempurnakan
makanan kita.
Itulah pengaturan Tuhan (al tadbir al ilahy). Mari
kita renungkan warna yang beragam, dari merah kehitam-hitaman hingga
putih terang; dari yang sangat kuning hingga kuning kehitam-hitaman!
Wahai manusia yang lupa diri, yang mabuk kepayang, yang menurutkan hawa
nafsu dan yang disibukkan dengan pemuasan syahwat, lihatlah qudrah Allah
SWT yang agung, yang menyelimuti kalian! Berpikirlah pada
pengaturan-Nya (al tadbir), kerincian makhluk-Nya dan keajaiban
ciptaan-Nya. Jika kita perhatikan dengan serius dan detail ayat-ayat Al
Qur’an, kita akan mendapati bahwa Al Qur’an mengajak untuk berpikir
secara menyeluruh dan sempurna. Allah berfirman:
“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (QS. Al-A’raaf [7]:185)
Pandangan secara menyeluruh sampai pada ufuk-ufuk
alam, berupa ayat-ayat yang menunjukkan dan memberi al ibrah, dan
terhadap diri berupa ayat-ayat yang menunjukkan dalil-dalil dan
bukti-bukti. Semua itu, menerangkan kepada kita, bahwa itu adalah hak
dari Rab langit dan bumi, Rab makhluk dan hamba. Ingatlah! Dia adalah Al
Khaliq yang Maha Kuasa dan Dia adalah Tuhan Semesta Raya (Rab al
‘alamin).
Sesungguhnya, jika kita memperhatikan dengan mata
bashirah terhadap alam yang menakjubkan ini dan kerajaan yang bertaburan
lagi luas ini, sudah cukup untuk membuka hakikat manusia untuk
menggapai kebenaran yang tersembunyi di sana. Membuat rekayasa baru dari
apa yang ia saksikan dan mengambil ‘i’jaz yang menunjukkan atas Zat
yang Maha Membuat lagi Maha Esa. Memperhatikan ciptaan-ciptaan Allah SWT
akan mencengangkan hati, membingungkan pikiran dan menjadikan akal
memiliki keinginan yang kuat untuk mengkaji tentang sumber semua ini,
tentang iradah yang mewujudkan makhluk-makhluk di dalam sistem alam raya
yang kita saksikan ini. Semua itu, akan menunjukkan qudrah Sang
Pencipta dan ketetapan ciptaan-Nya. Allah SWT berfirman:
“Dialah yang telah menciptakan tujuh langit
berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang
Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang,
adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? kemudian pandanglah
sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak
menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang.” (QS. Al-Mulk [67]:3–5)
Seluruh yang ada dalam ayat-ayat tersebut adalah
dalil tentang fenomena penjagaan dan pengaturan dalam kerajaan (langit
dan bumi) serta qudrah yang tidak terbatas dengan batasan apa pun. Al
Qur’an mengarahkan pandangan manusia kepada makhluk-makhluk (ciptaan
Allah) di langit dengan sifat khusus dan seluruh makhluk yang lain
dengan sifat umum. Allah SWT memalingkannya kepada makhluk-makhluk-Nya
dan Dia dengan kesempurnaan-Nya, akan mengembalikan penglihatan kita
dalam keadaan lemah, letih, terkalahkan, tercengang dan takjub. Segala
sesuatu yang ada di alam tiada cacat, kurang dan kekacauan sedikitpun.
Jika manusia melihatnya kembali, justru akan semakin menguatkannya,
adakah ketidakseimbangan yang kita lihat? Apakah penglihatan kita
menemukan celah, aib dan cacat? Jika kita mengulangi dua kali, bahkan
seribu kali, kita akan menemukan seperti yang kita lihat pertama kali,
[yaitu] kerincian dan ketetapan ciptaan-Nya, yang akan memancarkan
perasaan ketenangan (al khusyu’) dan perasaan takut pada Al Khaliq (al
rahbah).
Sesungguhnya, tidak ada tujuan lain dari tantangan Al
Qur’an, kecuali untuk membangkitkan perhatian dan kesungguh-sungguhan
agar kita memperhatikan langit dan seluruh ciptaan Allah SWT. Pandangan
yang tajam dan teliti dan perenungan tadabbur inilah yang ingin
dibangkitkan oleh Al Qur’an. Kebodohan yang menjadi kebiasaan akan
lenyap dengan kebahagiaan memandang alam yang menakjubkan (al ‘ajaib),
indah (al jamil) dan rinci (al daqiq). Orang yang mengetahui tabiat dan
sistem (aturan) alam —seperti yang telah ditemukan dalam ilmu
pengetahuan dengan berbagai sisinya— akan menemukan keajaiban-keajaiban.
Keindahan dalam desain (al tashmim) alam seperti halnya dalam
kesempurnaannya. Bahkan, keduanya (keindahan dan kesempurnaan) adalah
dua ungkapan yang hakikatnya adalah satu. Kesempurnaan (al kamal) sampai
pada derajat keindahan (al jamal). Dari sanalah Al Qur’an mengarahkan
manusia agar memperhatikan keindahan langit setelah manusia
memperhatikan kesempurnaannya.
“Sesungguhnya, Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang.” (QS. Al-Mulk [67]:5)
Semisal dengan kamal dan jamal ini, Allah SWT telah
mengangkat langit tanpa pasak yang tampak oleh manusia. Maka, lihatlah
langit di atas kita!
“Bagaimana Kami membangunnya dan menghiasinya. Dan, langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun.” (QS. Qaaf [50]:6)
“Maha suci Allah yang menjadikan di langit
gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga di sana matahari yang
bersinar dan bulan yang bercahaya (QS. Al-Furqaan [25]:61)
Dialah Allah SWT yang menjaga langit dan bumi agar keduanya tidak lenyap. Dia berfirman:
“Dan, matahari berjalan di orbitnya, demikianlah
ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan, telah Kami
tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga setelah (ia sampai pada
manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.
Tidaklah mungkin matahari mendapatkan bulan dan malam mendahului siang.
Dan, masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yaasiin [36]:38-40)
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu,
supaya kalian mengetahui bilangan-bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang
mengetahui. Sesungguhnya, pada pertukaran malam dan siang dan pada apa
yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda
(kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Yunus [10]:5-6)
“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya
Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam
malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai
pada waktu yang ditentukan. Dan, sesungguhnya Allah, Dialah yang hak
dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang
batil, dan sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Luqman [31]:29-30)
“Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, [yaitu] orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi [seraya berkata]: ‘Ya Tuhan kami, tiadalah
engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau.” (QS. Ali ‘Imran [3]:190–191)
Ayat-ayat Al Qur’an tersebut menunjukkan kerajaan
langit dan bumi yang ada di tangan [kekuasaan] Allah SWT yang memiliki
kerajaan dan mengatur kekuasaan-Nya ini sesuai dengan kehendak
qudrah-Nya yang tidak terbatas.
Al Qur’an Al Karim telah menerangkan kepada kita
sebagian dari hakikat alam yang sangat luas dan kompleks; dan penciptaan
yang sangat rinci dan sangat rapi, sebagaimana yang telah diamati oleh
para pakar ilmu pengetahuan terutama ilmuwan-ilmuwan yang menekuni
astronomi. Hanya saja, kajian yang dilakukan secara terus menerus hingga
saat ini, masih jauh dari penemuan (pemahaman) tentang akhir alam
semesta atau yang disebut dengan hakikat “perubahan alam semesta” (al
inqilab al kauny).
Yang menjadi pertanyaan, apakah alam langgeng atau akan sirna? Dan, kapan itu terjadi?
Tiada keraguan sedikitpun, bahwa Al Qur’an telah
menjelaskan kepada kita bahwa al inqilab al kauny benar-benar akan
terjadi. Bukan mustahil. Yang menjadi masalah adalah, kapan terjadinya?
Tahun berapa? Inilah yang tidak satu pun manusia mampu menjawab, karena
merupakan rahasia ilmu Allah SWT. Dialah yang Maha Mengetahui alam
ghaib, tidak satu pun orang yang mengetahuinya.
Adapun tentang al inqilab al kauny, ayat berikut ini menunjukkan keberadaannya:
“Apabila matahari digulung. Apabila bintang-bintang
berjatuhan. Apabila gunung-gunung dihancurkan. Apabila unta-unta yang
bunting ditinggalkan (tidak dipedulikan). Apabila binatang-binatang liar
dikumpulkan. Apabila lautan dipanaskan. Apabila ruh-ruh dipertemukan
(dengan tubuh). Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?. Apabila catatan-catatan (amal
perbuatan manusia) dibuka. Apabila langit dilenyapkan. Apabila neraka
jahanam dinyalakan. Dan, apabila surga didekatkan, maka tiap-tiap jiwa
akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.” (QS. At-Takwiir [81]:1–14)
Al inqilab al kauny tampak dalam surat Al Takwiir
dengan sangat mengerikan dan menakutkan. Matahari menjadi dingin dan
padam nyalanya; bintang-bintang menjadi lenyap dan padam sinarnya;
gunung-gunung meledak menjadi debu-debu yang beterbangan di angkasa dan
bergerak tampak seperti fatamorgana; kandungan-kandungan wanita menjadi
kosong dari berbagai jenis makhluk; binatang-binatang liar berlarian ke
sana ke mari di jalan-jalan. Sungguh ketakutan bertumpuk-tumpuk dan
makhluk dari berbagai arah bercampur baur (karena kebingungan). Air laut
panas membara, sehingga tampak seperti kobaran api yang meleleh dan
membakar segala sesuatu yang diterjangnya. Ruh-ruh yang sejenis sebagian
bertemu dengan sebagian yang lain, berkelompok-kelompok dan
berpasang-pasangan. Perempuan yang dikubur hidup secara biadab, itulah
satu-satunya yang akan ditanya Al Khaliq. Pertanyaan khusus kepada dia,
karena dia terdholimi secara nyata. Allah SWT bertanya kepadanya,
“Siapakah yang melakukan terhadapmu wahai perempuan yang terkubur? Dan,
karena dosa apakah mereka membunuhmu?” Tidakkah mereka mengetahui bahwa
mereka telah melampaui batas, yang tidak boleh diterjang pada
ciptaan-Nya? Tidakkah mereka memiliki standar kebenaran yang Allah SWT
tetapkankan dalam ciptaan-Nya? Ambillah [siksa]. Sungguh, telah datang
suatu hari yang akan meng-hisab atas apa saja yang mereka perbuat.
Ketika al inqilab al kauny ini, juga terdapat
pembagian lembar (al shuhuf) amal perbuatan, sehingga tiada yang
tersembunyi pada hari itu. Allah SWT menghilangkan “atap yang
ditinggikan” di kubah langit. Neraka jahim dinyalakan, yang nyalanya
sungguh sangat panas dengan bahan bakar manusia dan batu-batu. Surga (al
jannah) didekatkan bagi orang-orang yang berbahagia, sehingga
hiasan-hiasan mereka tampak seperti pengantin baru yang dipenuhi dengan
kilauan-kilauan dan keindahan; dikelilingi dengan kebahagiaan dan suka
cita. Semua itu akan terjadi pada hari inqilab, [yaitu] hari kiamat yang
pasti akan datang dan tiada keraguan sedikit pun. Pada hari itu,
manusia mengetahui apa saja yang telah dilakukan. Bekal-bekal yang telah
mereka siapkan akan meringankan adzab mereka dan maksiat-maksiat yang
mereka tumpuk akan dirasakan pahitnya, berupa kehinaan dan kesengsaraan.
Itulah sebagian ayat-ayat Al Qur’an yang memuat
hakikat-hakikat mutlak di seputar alam, manusia dan kehidupan. Di
dalamnya terdapat seruan-seruan yang bersih (al khalis) untuk iman yang
benar (al shadiq) dengan berbagai misal, pelajaran (al ‘ibrah) dan
nasehat-nasehat, sehingga manusia mendapatkan hidayah. Dan, khusus bagi
orang-orang yang berlindung kepada selain Allah SWT atau menjadikan
selain Allah SWT sebagai Tuhan, perumpamaan mereka adalah seperti rumah
laba-laba:
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan,
sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka
mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabuut [29]:41)
Dan, perumpamaan orang-orang yang tidak merasa lemah, yakni orang-orang yang berdoa kepada Allah SWT tetapi mereka lupa:
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu. Sesungguhnya, yang mereka seru
selain Allah sekali-sekali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun,
walau mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan, jika lalat itu merampas
sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat
itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pula) yang disembah.
Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj [22]:73–74)
Apakah ada contoh lain yang lebih sederhana daripada
contoh ini, [yaitu] Al Qur’an menunjukkan kelemahan makhluk dan
kekuasaan Al Khaliq? Serangga tadi hanyalah seekor lalat, jika Allah SWT
memberikan kekuasaan kepadanya untuk [menarik sesuatu] dari manusia
yang merasa kuat dan kuasa, maka lalat akan merampas dari manusia dengan
seluruh kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Marilah kita ingat!
Bertakwalah kepada Tuhanmu. Ketahuilah bahwa semuanya akan kembali
kepada-Nya, untuk dihisab baik yang lari (karena takut dan banyak dosa)
atau yang datang (orang-orang mukmin, pnj); tiada yang tersembunyi dari
ilmu Allah dalam menghisab manusia. Kebaikan dan keburukan seberat atom
pun Allah SWT akan membalasnya.
Demikianlah kita mendapati Al Qur’an, yang telah
diturunkan kepada Nabi yang buta huruf (al ummy) di kawasan yang juga
ummy, memuat bukti-bukti akliyah (al hujjah al aqliyah) yang sangat
baligh, bukti-bukti yang jelas dan rasional. Sehingga, para ilmuan (al
‘ulama) dan para ahli hikmah (al hukama’) menghabiskan umurnya hanya
untuk sampai pada sebagian kandungannya saja. Mereka hanya mendapatkan
setetes dari Al Qur’an dengan petunjuk Al Qur’an (Allah) yang telah
menerangi akalnya. Mereka akan berkesimpulan bahwa hujjah Al Qur’an
adalah ungkapan yang paling baligh; isyarat yang paling indah;
penyerupaan (al tamsil) yang paling menawan. Sehingga, manusia biasa
dapat menemukan sesuatu yang sesuai dengan fitrahnya, seperti halnya
para ilmuwan dapat memahami dengan bimbingan pikiran dan dengan arahan
akalnya. Inilah Al Qur’an, kitab Allah SWT yang kasih sayang kepada
manusia. Kitab yang akan tetap lestari seiring perjalanan tahun dan
masa. Ketika datang generasi-generasi baru, mereka akan menyelam sampai
di kedalaman Al Qur’an dan melihat-lihat mutiaranya yang kemilauan di
dasar lautnya yang jernih kebiruan. Al Qur’an menunjukkan temuan-temuan
baru dan akan selalu selaras dengan kehidupan manusia. Maha benar Allah
SWT yang berfirman:
“Dan, perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia. Dan, tidak yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (QS. Al-‘Ankabuut [29]:43)
Sesungguhnya, Al Qur’an Al Karim adalah kitab Allah SWT yang haq. Dan, Al Qur’an adalah haq dari Allah SWT.
“Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan
melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang
berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan selain Dia, yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Ali ‘Imran [3]:18)
[1] Kalam adalah lafadz yang tersusun sehingga memberikan makna yang dapat dipahami.
[2] Menurut sebagian ulama’ ahli nahwu, bahwa masdar adalah sumber derivat kata.
[3] Isim ‘alam adalah nama sesuatu, misalnya Yunus (nama seseorang), Makkah (nama kota) dan lain-lain.
[4] Kitab samawi artinya kitab langit, yakni kitab yang diturunkan oleh Allah.
[5] Kitab ardli artinya kitab bumi, yakni kitab buatan manusia.
1 I’rab adalah perubahan akhir kata karena adanya perubahan amil yang masuk pada kata tersebut. Amil tersebut kadang-kadang terlihat secara jelas dan kadang-kadang tersembunyi.
1 huruf jar adalah huruf yang mengakibatkan kata yang dimasukinya beri’rab jar. Seperti min (dari), ila (ke) dan lain-lain.
2 huruf ‘athaf adalah huruf untuk menghubungkan satu kata dengan kata yang lain. Seperti wawu (dan), tsumma (kemudian) dan lain-lain.